MAKALAH
KEGAWAT
DARURATAN SISTEM I
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
PENTINGNYA PENDIDIKAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
(STIKes) YARSI
SUMATERA BARAT BUKITTINGGI
T.A 2015 / 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah
rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada
klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan
yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang
timbul secara bertahap maupun mendadak (Dep.Kes RI, 2005).
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan
menjadi dua, yaitu : pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan
kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei
primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien,
barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer
meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas
disertai control servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan
mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem
sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status
neurologis; E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah
hipotermia (Holder, 2002).
Pengkajian yang dilakukan secara terfokus dan
berkesinambungan akan menghasilkan data yang dibutuhkan untuk merawat pasien
sebaik mungkin. Dalam melakukan pengkajian dibutuhkan kemampuan kognitif,
psikomotor, interpersonal, etik dan kemampuan menyelesaikan maslah dengan baik
dan benar. Perawat harus memastikan bahwa data yang dihasilkan tersebut harus
dicatat, dapat dijangkau, dan dikomunikasikan dengan petugas kesehatan yang
lain. Pengkajian yang tepat pada pasien akan memberikan dampak kepuasan pada
pasien yang dilayani (Kartikawati, 2012).
Oleh karena itu diperlukan perawat yang
mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan
keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik
aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak
atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak
dapat dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat
sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal
yang akan menentukan keberhasilan Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan
pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian yang baik akan meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat dari mutu pelayanan
keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat
tanggap, kemudahan bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mengakses,
prosedur dan harga (Joewono, 2003).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Menjelaskan
latar belakang perlunya pendidikan kegawatdaruratan ?
2.
Menjelaskan
tujuan perlunya pendidikan pembelajaran kegawatdaruratan ?
3.
Menjelaskan konsep
kegawatdaruratan ?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Mahasiswa mampu
memahami tentang konsep latar belakang dan tujuan pentingnya
pendidikan kegawatdaruratan dalam
keperawatan dan melakukan klasifikasi pada pasien serta dapat mengaplikasikannya
dalam dunia keperawatan nantinya.
1.4 METODE PENULISAN
Penulisan
makalah ini dengan menggunakan metode studi kepustakaan yaitu dengan cara
mencari dan membaca literatur yang ada di perpustakaan, jurnal, media internet.
1.5 SISTEMATIKA
PENULISAN
Makalah
ini disusun secara teoritis dan sistematis yang tediri dari 3 bab yaitu : BAB I
adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II adalah materi
tentang konsep latar
belakang dan tujuan pentingnya pendidikan kegawatdaruratan.
BAB
II
PEMBAHASAN
KONSEP
KEGAWATDARURATAN
2.1
Latar Belakang KGD
Menurut Keparawatan
gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang di berikan pada
pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan
sering di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi
tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang
di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan.
Keperawatan
kritis dan kegawatdaruratan bersifat cepat dan perlu tindakan yang tepat, serta
memerlukan pemikiran kritis tingkat tinggi. Perawat gawat darurat harus
mengkaji pasien mereka dengan cepat dan merencanakan intervensi sambil
berkolaborasi dengan dokter gawat darurat. Dan harus mengimplementasi kan rencana
pengobatan, mengevaluasi efektivitas pengobatan, dan merevisi perencanaan dalam
parameter waktu yang sangat sempit. Hal tersebut merupakan tantangan besar bagi
perawat, yang juga harus membuat catatan perawatan yang akurat melalui
pendokumentasian.
Di
lingkungan gawat darurat, hidup dan mati seseorang ditentukan dalam hitungan
menit. Sifat gawat darurat kasus memfokuskan kontribusi keperawatan pada hasil
yang dicapai pasien, dan menekankan perlunya perawat mencatat kontribusi
profesional mereka.
Serta diperlukan perawat yang mempunyai
kemampuan atau ketrampilan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan
gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau
potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak
di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat
tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang
akan menentukan keberhasilan Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan
pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian yang baik akan meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat dari mutu pelayanan
keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat
tanggap, kemudahan bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan
mengakses, prosedur dan harga (Joewono, 2003).
2.2 Tujuan KGD
Bagi profesi keperawatan
pelatihan kegawatdaruratan, dapat dijadikan sebagai aspek legalitas dan
kompetensi dalam melaksanakan pelayanan keperawatan gawat darurat yang
tujuannya antara lain:
- Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap pelayanan keperawatan gawat darurat yang diberikan.
- Menginformasikan kepada masyarakat tentang pelayanan keperawatan gawat darurat yang diberikan dan tanggungjawab secara professional
- Memelihara kualitas/mutu pelayanan keperawatan yang diberikan
- Menjamin adanya perlindungan hokum bagi perawat
- Memotivasi pengembangan profesi
- Meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan
Tujuan kegawatdaruratan adalah:
- Mencegah kematian dan cacat (to save life and limb) pada periderita gawat darurat, hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
- Merujuk penderita, gawat darurat melalui sistem rujukan untuk
memperoleh penanganan
yang Iebih memadai.
- Menanggulangi korban bencana.
2.3 Konsep Kegawatdaruratan
A.
Pengertian
KGD
1. Pasien Gawat Darurat
Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.
Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.
2. Pasien Gawat Tidak Darurat
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker stadium lanjut.
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker stadium lanjut.
3. Pasien Darurat Tidak Gawat
Pasien akibat musibah yang datag tiba-tiba, tetapi tidak mêngancam nyawa dan anggota badannya, misanya luka sayat dangkal.
Pasien akibat musibah yang datag tiba-tiba, tetapi tidak mêngancam nyawa dan anggota badannya, misanya luka sayat dangkal.
4. Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat
Misalnya pasien dengan ulcus tropiurn, TBC kulit, dan sebagainya.
Misalnya pasien dengan ulcus tropiurn, TBC kulit, dan sebagainya.
5. Kecelakaan (Accident)
Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai factor yang datangnya mendadak, tidak dikehendaki sehinga menimbulkan cedera (fisik. mental, sosial)
Kecelakaan dan cedera dapat diklasifikasikan menurut :
Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai factor yang datangnya mendadak, tidak dikehendaki sehinga menimbulkan cedera (fisik. mental, sosial)
Kecelakaan dan cedera dapat diklasifikasikan menurut :
a. Tempat kejadian
·
kecelakaan lalu lintas,
·
kecelakaan di lingkungan rumah tangga
·
kecelakaan di lingkungan pekerjaan
·
kecelakaan di sekolah
·
kecelakaan di tempat-tempat umum lain seperti halnya: tepat rekreasi,
perbelanjaan, di arena olah raga. dan lain-lain.
b. Mekanisme kejadian
Tertumbuk, jatuh, terpotong, tercekik oleh benda asing. tersengat, terbakar baik karena efek kimia, fisik maupun listrik atau radiasi.
Tertumbuk, jatuh, terpotong, tercekik oleh benda asing. tersengat, terbakar baik karena efek kimia, fisik maupun listrik atau radiasi.
c. Waktu kejadian :
·
waktu perjalanan (traveling/trasport time)
·
waktu bekerja, waktu sekolah, waktu bermain dan lain- lain
6.
Cedera
Masalah kesehatan yang didapat/dialami sebagai akibat kecelakaan.
Masalah kesehatan yang didapat/dialami sebagai akibat kecelakaan.
7.
Bencana
Peristiwa atau rangkaian peritiwa yang disebabkan oleh alam dan atau manusia yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia. kerugian harta benda, kerusakan Iingkungan, kerusakan sarana dan prasarana umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat dan pembangunan nasional yang memerlukan pertolongar. dan bantuan.
Peristiwa atau rangkaian peritiwa yang disebabkan oleh alam dan atau manusia yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia. kerugian harta benda, kerusakan Iingkungan, kerusakan sarana dan prasarana umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat dan pembangunan nasional yang memerlukan pertolongar. dan bantuan.
B. Berpikir Kritis
Dalam Keperawatan
Berpikir
kritis dalam keperawatan menurut studi riset tahun 1997&1998 adalah
komponen esensial dalam tanggung gugat profesional dan asuhan keperawatan yang
bermutu seperti : kreatifitas, fleksibelitas, rasa ingin tahu, intuisi, pikiran
terbuka
(Rubenfeld, Barbara K. 2006).
C. Model Berpikir
Kritis Dalam Keperawatan
Terdapat 5 model berpikir yaitu : (Rubenfeld, Barbara K. 2006)
a.
T : total recall (ingatan total)
b.
H : habits (kebiasaan)
c.
I : inquiry (penyelidikan)
d.
N : new ideas and creativity (ide baru dan kreatifitas)
e.
K : knowing how you think (mengetahui bagaimana anda
berpikir)
D.
Perspektif Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan
Keperawatan
kritis dan kegawatdaruratan adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang
diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis atau rangkaian kegiatan
praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat yang kompeten
untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat.
Namun UGD
dan klinik kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang
kemudian filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan
yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai
kedaruratan.
Keperawatan
kritis dan kegawatdaruratan meliputi pertolongan pertama, penanganan
transportasi yang diberikan kepada orang
yang mengalami kondisi darurat akibat rudapaksa, sebab medik atau perjalanan
penyakit di mulai dari tempat ditemukannya korban tersebut sampai pengobatan
definitif dilakukan di tempat rujukan.
E. Prinsip
Gawat Darurat
a. Bersikap tenang tapi cekatan dan
berpikir sebelum bertindak (jangan panik).
b. Sadar peran perawat dalam menghadapi
korban dan wali ataupun saksi.
c. Melakukan pengkajian yang cepat dan
cermat terhadap masalah yang mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba,
perdarahan hebat, keracunan).
d. Melakukan pengkajian sistematik
sebelum melakukan tindakan secara menyeluruh. Pertahankan korban pada posisi
datar atau sesuai (kecuali jika ada ortopnea), lindungi korban dari
kedinginan.
e. Jika korban sadar, jelaskan apa yang
terjadi, berikan bantuan untuk menenangkan dan yakinkan akan ditolong.
f. Hindari mengangkat/memindahkan yang
tidak perlu, memindahkan jika hanya ada kondisi yang membahayakan.
g. Jangan diberi minum jika ada trauma
abdomen atau perkiraan kemungkinan tindakan anastesi umum dalam waktu
dekat.
h. Jangan dipindahkan (ditransportasi)
sebelum pertolongan pertama selesai dilakukan dan terdapat alat transportasi
yang memadai.
Dalam
beberapa jenis keadaan kegawatdaruratan yang telah disepakati pimpinan
masing-masing rumah sakit dan tentunya dengan menggunakan Protap yang telah
tersedia, maka perawat yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat dapat bertindak
langsung sesuai dengan prosedur tetap rumah sakit yang berlaku. Peran ini
sangat dekat kaitannya dengan upaya penyelamatan jiwa pasien secara
langsung.
F. Falsafah
Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan
a. Bidang cakupan keperawatan gawat
darurat: pre hospital, in hospital, post hospital.
b. Resusitasi pemulihan bentuk
kesadaran seseorang yang tampak mati akibat berhentinya fungsi jantung dan paru
yang berorientasi pada otak.
c. Pertolongan diberikan karena keadaan
yang mengancam kehidupan.
d. Terapi kegawatan intensive: tindakan
terbaik untuk klien sakit kritis karena tidak segera di intervensi menimbulkan
kerusakan organ yang akhirnya meninggal.
e. Mati klinis: henti nafas, sirkulasi
terganggu, henti jantung, otak tidak berfungsi untuk sementara (reversibel).
Resusitasi jantung paru (RJP) tidak dilakukan bila: kematian wajar, stadium
terminal penyakit seperti kanker yang menyebar ke otak setelah 1/2-1 jam RJP
gagal dipastikan fungsi otak berjalan.
f. Mati biologis: kematian tetap karena
otak kerkurangan oksigen. mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua
jaringan yang mulai dari neuron otak yang nekrosis setelah satu jam tanpa
sirkulasi oleh jantung, paru, hati, dan lain – lain.
g. Mati klinis 4-6 menit, kemudian mati
biologis.
h. Fatwa IDI mati: jika fungsi
pernafasan seperti jantung berhenti secara pasti (irreversibel atau terbukti
kematian batang otak).
G. Ruang
Lingkup Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan
1. ICU
(Intensive Care Unit)
ICU adalah
ruangan perawatan intensif dengan peralatan-peralatan khusus untuk
menanggulangi pasien gawat karena penyakit, trauma atau kompikasi lain.
Misalnya terdapat sebuah kasus dalam sistem persyarafan dengan klien A cedera
medula spinalis, cedera tulang belakang, klien mengeluh nyeri, serta terbatasnya
pergerakan klien dan punggung habis jatuh dari tangga. Dengan klien B epilepsi
mengalami fase kejang tonik dan klonik pada saat serangan epilepsi dirumahnya.
Dua kasus
diatas memiliki sebuah perbedaan yang jelas dengan melihat kasus tersebut, yang
meski dilakukan oleh seorang perawat adalah melihat kondisi si klien B maka
lebih diutamakan dibandingkan dengan klien A karena pada klien B kondisi gawat
daruratnya disebabkan oleh adanya penyakit epilepsi. Sedangkan untuk klien A
dalam kondisi gawat darurat juga akan tetapi ia masuk kedalam unit atau bagian
gawat darurat (UGD) bukan berarti tidak diperdulikan.
2. UGD (Unit
Gawat Darurat)
UGD
merupakan unit atau bagian yang memberikan pelayanan gawat darurat kepada
masyarakat yang menderita penyakit akut atau mengalami kecelakaan. Seperti pada
kasus diatas pada klien A, ia mengalami suatu kecelakaan yang mengakibatkan
cedera tulang belakang dengan demikian yang meski dibawa ke UGD adalah yang
klien A yang mengalami kecelakaan tersebut.
H. Proses
Keperawatan Gawat Darurat
1.
Waktu yang terbatas
2.
Kondisi klien yang memerlukan bantuan segera
3.
Kebutuhan pelayanan yang definitif di unit lain (OK,
ICU)
4.
Informasi yang terbatas
5.
Peran dan sumber daya
I. Sasaran
Pelayanan Gawat Darurat
Ketepatan resusitasi efektif dan stabilisasi
klien gawat dan yang mengalami perlukaan.
J. Aspek
Psikologis Pada Situasi Gawat Darurat
1.
Cemas
2.
Histeris
3.
Mudah marah
K. Pengkajian
terhadap prioritas pelayanan
Perubahan
tanda vital yang signifikan (hipo/hipertensi, hipo/hipertermia, disritmia, distres
pernafasan).
1.
Perubahan/gangguan tingkat kesdaran (LOC)
2.
Nyeri dada terutama pada pasien berusia > 35 tahun
3.
Nyeri yang hebat
4.
Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan dengan penekanan
langsung
5.
Kondisi yang dapat memperburuk jika pengobatan ditangguhkan
6.
Hilang penglihatans ecara tiba-tiba
7.
Perilaku membahayakan, menyerang
8.
Kondisi psikologis yang terganggu/perkosaan
L. Triage
Tujuan
triage adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan
pertolongan kedaruratan dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
·
Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat
kepada pasien.
·
Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan
pengobatan lanjutan.
·
Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam
proses penanggulangan/pengobatan gawat darurat.
- Sistem Triage dipengaruhi oleh:
·
Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
·
Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
·
Denah bangunan fisik unit gawat darurat
·
Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis
- Sistem Pelayanan Gawat Darurat
Pelayanan
gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan untuk mengatasi kondisi
kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan asukan keperawatan
untuk mengatasi kecemasan pasien dan keluarga.
Sistem
pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis lainnya harus
memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang tinggi
dalam memberikan pertolongan kedaruratan kepeda pesien.
- Triage Dalam Keperawatan Gawat Darurat
Yaitu
skenario pertolongan yang akan di berikan sesudah fase keadaan pasien.
Pasien-pasien yang terancam hidupnya harus di beri prioritas utama. Triage
dalam keperawatan gawat derurat di gunakan untuk mengklasifikasian keperahan
penyakit atau cidera dan menetapkan prioritas kebutuhan penggunaan petugas
perawatan kesehatan yang efisien dan sumber-sumbernya.
Standart
waktu yang di perlukan untuk melakukan triase adalah 2-5 menit untuk orang
dewasa dan 7 menit untuk pasien anak-anak.
Triase di
lakukan oleh perawat yang profesional (RN) yang sudah terlatih dalam prinsip
triase, pengalaman bekerja minimal 6 bulan di bagian UGD, dan memiliki
kualisifikasi:
·
Menunjukkan kompetensi kegawat daruratan
·
Sertifikasi ATLS, ACLS, PALS, ENPC
·
Lulus Trauma Nurse Core Currikulum (TNCC)
·
Pengetahuan tentang kebijakan intradepartemen
·
Keterampilan pengkajian yang tepat, dll
- Kategori/ Klasifikasi Trias
61% menggunakan 4 kategori pengambilan keputusan yaitu dengan menggunakan
warna hartu/status sebagai tanda klasifikasi yaitu Merah (Emergen), kuning (Urgen),
hijau (non Urgen), hitam (Expectant):
·
Merah
(Emergent)
Yaitu korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera. Yaitu kondisi yang
mengancam kehidupan dan memerlukan perhatian segera.
Contoh:
ü Syok oleh berbagai kausa
ü Gangguan pernapasan
ü Trauma kepala dengan pupil anisokor
ü Perdarahan eksternal masif
·
Kuning
(Urgent)
Yaitu korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat di
tunda sementara. Kondisi yang merupakan masalah medisyang disignifikan dan
memerlukan penata laksanaan sesegera mungkin. Tanda-tanda fital klien ini masih
stabil.
Contoh:
ü Fraktur multiple
ü Fraktur femur/pelvis
ü Korban dengan resiko syok (korban
dengan gangguan jantung, trauma, obdomen berat)
ü Luka bakar luas
ü Gangguan kesadaran/trauma kepala
ü Korban dengan status yang tidak
jelas.
ü Semua korban dengan kategori ini
harus di berikan infus, pengawasan ketat terhadap kemungkinan timbulnya
komplikasi dan berikan perawatan sesegera mungkin.
·
Hijau (Non
urgent)
Yaitu kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau pemberian pengobatan
dapat di tunda. Penyakit atau cidera minor
Contoh
ü Fektur minor
ü Luka minor
ü Luka bakar minor
·
Hitam
(Expectant)
Korban yang meninggal bunia atau
yang berpotensi untuk meninggal dunia
- 6% memakai sistem empat kelas yaitu:
a.
Kelas1:
kritis (mengancam jiwa, ekstremitas, penglihatan atau tindakan segera)
b.
Kelas ii:
Akut (terdapat perubahan yang signifikan, tindakan segera mungkin)
c.
Kelas iii:
Urgent (signifikan, tikdakan pada waktu yang tepat)
d.
Kelas iv:
Non Urgent (tidak terdapat resiko yang perlu segera di tangani)10% digunakan
sistem 5 tingkat yaitu:
1.
Kritis
Segera Henti jantung
2.
Tidak stabil
5-15 menit Fraktur mayor
3.
Potensial
tidak stabil 30-60 menit Nyeri abdomen
4.
Stabil 1-2
jam Sinusitis
5.
Rutin 4 jam
Pengangkatan jahitan
M. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan
aplikasi terlatih dari prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya
kecelakaan atau dalam kasus-kasus penyakit mendadak dengan menggunakan
fasilitas-fasilitas atau benda-benda yang tersedia pada saat itu. Hal ini
merupakan metode penanganan yang telah diuji sampai korban dipindahkan ke Rumah
Sakit atau lokasi dimana keterampilan dan peralatan yang layak tersedia (Skeet,
1995).
Penatalaksanaan awal diberikan untuk :
1.
Mempertahankan hidup
2.
Mencegah kondisi menjadi lebih buruk
3.
Meningkatkan pemulihan
Seseorang yang memberikan penatalaksanaan awal harus :
1. Mengkaji sesuatu
2. Menentukan diagnosis untuk setiap korban
3. Memberikan penanganan yang cepat dan adekuat, mengingat bahwa
korban mungkin memiliki lebih dari satu cedera dan beberapa korban akan
membutuhkan perhatian dari pada yang lain.
4.
Tidak menunda pengiriman korban ke Rumah Sakit sehubungan dengan kondisi
serius.
Pada penderita trauma, waktu sangat penting, oleh karena itu diperlukan
adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial
aassesment (penilaian awal) dan meliputi (ATLS, 2004) :
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resutisasi
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
9. Penanganan definitif
a.
Primary Survey
Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan
melalui ABCDE yaitu :
A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical
spinecontrol)
B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)
D: Disability, status neurologis
E: Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi
cegah
Hipotermia.
a.
Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam
resusitasi dan membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan
keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat
disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau
maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul secara
mendadak dan total, perlahan – lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau
berulang.
Menurut ATLS 2004, Kematian-kematian dini
karena masalah airway seringkali masih dapat dicegah, dan dapat
disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi
kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam
mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan
cara buatan seperti : reposisi, chin 10 lift, jaw thrust, atau
melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Walls,
2010). Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal.
Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw
thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa
jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway harus
tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif.
Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway
definitif.
Penilaian bebasnya airway dan
baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila
penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke
belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan
segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau
dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway
selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal
airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway).
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan
atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan
prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (in-line
immobilization) (ATLS, 2004)
Teknik-teknik
mempertahankan airway :
i.
Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien
harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir,
cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan
satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas.
Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke
belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi
bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).
ii.
Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari
tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu
jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan,
secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak
boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma
karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher
atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan
cedera spinaL
iii. Jaw thrust
Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua
tangan pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada
pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada
pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum
mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila
(Arifin, 2012)
iv.
Oropharingeal Airway (OPA)
Indikasi : Airway orofaringeal digunakan
untuk membebaskan jalan napas pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas
bawah (Kene, davis, 2007).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus
dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien.
Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus
(anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam
rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180
drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua
ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan
hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan
bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan
nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara memplester
pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien
(Arifin, 2012).
v. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih
memberikan respon, airway nasofaringeal lebih disukai dibandingkan
airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya
merangsang muntah (ATLS, 2004).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus
dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai dengan cara
menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak
telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang
sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal
pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke
bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal
pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).
vi. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif
yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi
atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada
penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
- Adanya apnea
- Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – cara yang lain
- Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
- vomitus
- Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
- Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
- Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal
merupakan cara yang paling sering digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal
merupakan hal utama yang harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan
perbaikan airway. Faktor yang paling menentukan dalam pemilihan intubasi
orotrakeal atau nasotrakeal adalah pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut
aman dan efektif apabila dilakukan dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan
intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk melakukan airway
surgical.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar
jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
Lihat (look), melihat naik turunnya dada
yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat.Dengar (listen),
mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.Rasa (feel),
merasa adanya hembusan nafas.
b.
Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan.
Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2 yang digunakan untuk menunjang
reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan
secara terus-menerus (Sherwood, 2001). Kegagalan dalam oksigenasi akan
menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan
akhirnya kematian (Hagberg, 2005). Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan
bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway
yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula
(Dolan, Holt, 2008). Menjamin terbukanya airway merupakan langkah awal
yang penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi yang memadai menunjukkan
pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik,
efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Buono, Davis, Barth, 2007).
Apabila pernafasan tidak adekuat,
ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-mask merupakan cara
yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana
kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin kerapatan
yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask (Arifin,
2012):
- Posisikan kepala lurus dengan tubuh
- Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran).
- Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut).
- Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
- Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
- Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
- Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
- Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
- Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).
Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik
dengan terbukanya airway, penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan
dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada toraks.
Penilaian awal tersebut dilakukan untuk
menilai apakah terdapat keadaan-keadaan seperti tension pneumotoraks,
massive haemotoraks, open pneumotoraks dimana keadaan-keadaan tersebut
harus dapat dikenali pada saat dilakukan primary survey. Bila
ditemukannya keadaan-keadaan tersebut maka resusitasi yang dilakukan adalah (
Sitohang, 2012):
§ Memberikan oksigen dengan kecepatan 10 –
12 L/menit
§ Tension
pneumotoraks : Needle
insertion (IV Cath No. 14) di ICR II linea midclavicularis.
§ Massive
haemotoraks :
Pemasangan Chest Tube
§ Open
pneumotoraks :
Luka diututp dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi (flutter-type
valveefect). Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi
tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita.
§ Pulse oxymeter adalah metoda yang noninvansif untuk
mengukur saturasi oksigen darah aterial secara terus menerus (ATLS, 2004).
c. Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian
setelah trauma (Dolan, Holt, 2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian
dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai tingkat
kesadaran, warna kulit dan nadi (ATLS,2004).
§ Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan
penurunan tingkat kesadaran.
§ Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.
§ Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a.
karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita
dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):
o
Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka
tekanan darah minimal 80 mmHg sistol.
o
Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal
70 mmHg sistol.
o
Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal
70 mmHg sistol.
o
Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal
60 mmHg sistol.
d.
Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi
terhadap keadaan neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat
(level) cedera spinal (ATLS, 2004). Cara cepat dalam mengevaluasi status
neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan
dapat dilakukan pada saat survey sekunder (Jumaan, 2008).
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana
untuk menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
§
Membuka mata spontan
§
Membuka mata jika
dipanggil, diperintah atau dibangunkan
§
Membuka mata jika diberi
rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari tangan)
§
Tidak memberikan respon
2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
§
Orientasi baik dan mampu
berkomunikasi
§
Disorientasi atau bingung
§
Mengucapkan kata-kata
tetapi tidak dalam bentuk kalimat
§
Mengerang (mengucapkan kata
-kata yang tidak jelas artinya)
§
Tidak memberikan respon
3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
§
Melakukan gerakan sesuai
perintah
§
Dapat melokalisasi
rangsangan nyeri
§
Menghindar terhadap
rangsangan nyeri
§
Fleksi abnormal (decorticated)
·
Ektensi abnormal (decerebrate)
·
Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh,
semakin jelek kesadaran)
Penurunan
tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab (Pre-Hospital
Trauma Life Support Commitee 2002) :
1. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak
2. Trauma pada sentral nervus sistem
3. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
4. Gangguan atau kelainan metabolik
e.
Exposure
Merupakan bagian akhir
dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya,
kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita
dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan
cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak
hipotermi.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan adalah pelayanan
profesioanal keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan
kritis atau rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang
diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di
ruang gawat darurat.
Namun UGD dan klinik kedaruratan sering digunakan untuk
masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan gawat
darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau
keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan meliputi pertolongan
pertama, penanganan transportasi yang diberikan kepada orang yang mengalami
kondisi darurat akibat rudapaksa, sebab medik atau perjalanan penyakit di mulai
dari tempat ditemukannya korban tersebut sampai pengobatan definitif dilakukan
di tempat rujukan.
3.2 SARAN
Sebagai seorang
calon perawat yang nantinya akan bekerja di suatu institusi Rumah Sakit
tentunya kita dapat mengetahui mengenai perspektif keperawatan kritis dan
kegawatdaruratan, dan ruang lingkup kritis dan kegawadaruratan. Penulis mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca, karena manusia tidak ada yang sempurna, agar penulis dapat belajar lagi dalam penulisan
makalah yang lebih baik. Atas kritik dan saran dari pembaca, penulis ucakan
terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Hudak, Gallo.1996. Keperawatan Kritis.(4th
ed).Jakarta: EGC.
Rubenfeld, Barbara K. 2006. Berfikir Kritis dalam Keperawatan.(2th ed). Jakarta: EGC.