Thursday 10 March 2016

KGD I




MAKALAH

KEGAWAT DARURATAN SISTEM I



LATAR BELAKANG DAN TUJUAN PENTINGNYA PENDIDIKAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN


DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2





PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) YARSI

SUMATERA BARAT BUKITTINGGI

T.A 2015 / 2016

BAB I

PENDAHULUAN

1.1   LATAR BELAKANG
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak (Dep.Kes RI, 2005).
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).
Pengkajian yang dilakukan secara terfokus dan berkesinambungan akan menghasilkan data yang dibutuhkan untuk merawat pasien sebaik mungkin. Dalam melakukan pengkajian dibutuhkan kemampuan kognitif, psikomotor, interpersonal, etik dan kemampuan menyelesaikan maslah dengan baik dan benar. Perawat harus memastikan bahwa data yang dihasilkan tersebut harus dicatat, dapat dijangkau, dan dikomunikasikan dengan petugas kesehatan yang lain. Pengkajian yang tepat pada pasien akan memberikan dampak kepuasan pada pasien yang dilayani (Kartikawati, 2012).
Oleh karena itu diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan keberhasilan Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat dari mutu pelayanan keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat tanggap, kemudahan bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mengakses, prosedur dan harga (Joewono, 2003).

1.2   RUMUSAN MASALAH
1.      Menjelaskan latar belakang perlunya pendidikan kegawatdaruratan ?
2.      Menjelaskan tujuan perlunya pendidikan pembelajaran kegawatdaruratan ?
3.      Menjelaskan konsep kegawatdaruratan ?

1.3   TUJUAN PENULISAN
Mahasiswa mampu memahami  tentang  konsep latar belakang dan tujuan pentingnya pendidikan kegawatdaruratan dalam keperawatan dan melakukan klasifikasi pada pasien serta dapat mengaplikasikannya dalam dunia keperawatan nantinya.

1.4   METODE PENULISAN
Penulisan  makalah ini dengan menggunakan metode studi kepustakaan yaitu dengan cara mencari dan membaca literatur yang ada di perpustakaan, jurnal, media internet.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN
Makalah ini disusun secara teoritis dan sistematis yang tediri dari 3 bab yaitu : BAB I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II adalah materi tentang konsep latar belakang dan tujuan pentingnya pendidikan kegawatdaruratan.

BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP KEGAWATDARURATAN

2.1 Latar Belakang KGD
Menurut Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang di berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan sering di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan bersifat cepat dan perlu tindakan yang tepat, serta memerlukan pemikiran kritis tingkat tinggi. Perawat gawat darurat harus mengkaji pasien mereka dengan cepat dan merencanakan intervensi sambil berkolaborasi dengan dokter gawat darurat. Dan harus mengimplementasi kan rencana pengobatan, mengevaluasi efektivitas pengobatan, dan merevisi perencanaan dalam parameter waktu yang sangat sempit. Hal tersebut merupakan tantangan besar bagi perawat, yang juga harus membuat catatan perawatan yang akurat melalui pendokumentasian. 
Di lingkungan gawat darurat, hidup dan mati seseorang ditentukan dalam hitungan menit. Sifat gawat darurat kasus memfokuskan kontribusi keperawatan pada hasil yang dicapai pasien, dan menekankan perlunya perawat mencatat kontribusi profesional mereka.
Serta diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan keberhasilan Asuhan Keperawatan pada system kegawatdaruratan pada pasien dewasa. Dengan Pengkajian yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Aspek – aspek yang dapat dilihat dari mutu pelayanan keperawatan yang dapat dilihat adalah kepedulian, lingkungan fisik, cepat tanggap, kemudahan bertransaksi, kemudahan memperoleh informasi, kemudahan mengakses, prosedur dan harga (Joewono, 2003).
  


2.2 Tujuan KGD

Bagi profesi keperawatan pelatihan kegawatdaruratan, dapat dijadikan sebagai aspek legalitas dan kompetensi dalam melaksanakan pelayanan keperawatan gawat darurat yang tujuannya antara lain:


  1. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap pelayanan keperawatan gawat darurat yang diberikan.
  2. Menginformasikan kepada masyarakat tentang pelayanan keperawatan gawat darurat yang diberikan dan tanggungjawab secara professional
  3. Memelihara kualitas/mutu pelayanan keperawatan yang diberikan
  4. Menjamin adanya perlindungan hokum bagi perawat
  5. Memotivasi pengembangan profesi
  6. Meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan

Tujuan kegawatdaruratan adalah:

  1. Mencegah kematian dan cacat (to save life and limb) pada periderita gawat darurat, hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
  1. Merujuk penderita, gawat darurat melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan
    yang Iebih memadai.
  1. Menanggulangi korban bencana. 

2.3 Konsep Kegawatdaruratan  
A.     Pengertian KGD

1.       Pasien Gawat Darurat
Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan secepatnya.

2.       Pasien Gawat Tidak Darurat
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat, misalnya kanker stadium lanjut.

3.       Pasien Darurat Tidak Gawat
Pasien akibat musibah yang datag tiba-tiba, tetapi tidak mêngancam nyawa dan anggota badannya, misanya luka sayat dangkal.

4.       Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat
Misalnya pasien dengan ulcus tropiurn, TBC kulit, dan sebagainya.

5.       Kecelakaan (Accident)
Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai factor yang datangnya mendadak, tidak dikehendaki sehinga menimbulkan cedera (fisik. mental, sosial)
Kecelakaan dan cedera dapat diklasifikasikan menurut :

a.       Tempat kejadian

·         kecelakaan lalu lintas,

·         kecelakaan di lingkungan rumah tangga

·         kecelakaan di lingkungan pekerjaan

·         kecelakaan di sekolah

·         kecelakaan di tempat-tempat umum lain seperti halnya: tepat rekreasi, perbelanjaan, di arena olah raga. dan lain-lain.

b.      Mekanisme kejadian
Tertumbuk, jatuh, terpotong, tercekik oleh benda asing. tersengat, terbakar baik karena efek kimia, fisik maupun listrik atau radiasi.

c.       Waktu kejadian :

·         waktu perjalanan (traveling/trasport time)

·         waktu bekerja, waktu sekolah, waktu bermain dan lain- lain

6.      Cedera
Masalah kesehatan yang didapat/dialami sebagai akibat kecelakaan.

7.      Bencana
Peristiwa atau rangkaian peritiwa yang disebabkan oleh alam dan atau manusia yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia. kerugian harta benda, kerusakan Iingkungan, kerusakan sarana dan prasarana umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat dan pembangunan nasional yang memerlukan pertolongar. dan bantuan
.

B. Berpikir Kritis Dalam Keperawatan
Berpikir kritis dalam keperawatan menurut studi riset tahun 1997&1998 adalah komponen esensial dalam tanggung gugat profesional dan asuhan keperawatan yang bermutu seperti : kreatifitas, fleksibelitas, rasa ingin tahu, intuisi, pikiran terbuka (Rubenfeld, Barbara K. 2006).

C.  Model Berpikir Kritis Dalam Keperawatan
Terdapat 5 model berpikir yaitu : (Rubenfeld, Barbara K. 2006)
a.     T : total recall (ingatan total)
b.    H : habits (kebiasaan)
c.     I : inquiry (penyelidikan)
d.    N : new ideas and creativity (ide baru dan kreatifitas)
e.     K : knowing how you think (mengetahui bagaimana anda berpikir)

D.    Perspektif Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan 
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis atau rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat. 
Namun UGD dan klinik kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan meliputi pertolongan pertama, penanganan transportasi yang  diberikan kepada orang yang mengalami kondisi darurat akibat rudapaksa, sebab medik atau perjalanan penyakit di mulai dari tempat ditemukannya korban tersebut sampai pengobatan definitif dilakukan di tempat rujukan.

E.    Prinsip Gawat Darurat 
a.       Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik). 
b.      Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi. 
c.       Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan). 
d.      Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara menyeluruh. Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika ada ortopnea), lindungi korban dari kedinginan. 
e.       Jika korban sadar, jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk menenangkan dan yakinkan akan ditolong. 
f.       Hindari mengangkat/memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika hanya ada kondisi yang membahayakan. 
g.      Jangan diberi minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan kemungkinan tindakan anastesi umum dalam waktu dekat. 
h.      Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai dilakukan dan terdapat alat transportasi yang memadai. 
Dalam beberapa jenis keadaan kegawatdaruratan yang telah disepakati pimpinan masing-masing rumah sakit dan tentunya dengan menggunakan Protap yang telah tersedia, maka perawat yang bertugas di Instalasi Gawat Darurat dapat bertindak langsung sesuai dengan prosedur tetap rumah sakit yang berlaku. Peran ini sangat dekat kaitannya dengan upaya penyelamatan jiwa pasien secara langsung. 

F.     Falsafah Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan 
a.       Bidang cakupan keperawatan gawat darurat: pre hospital, in hospital, post hospital.
b.      Resusitasi pemulihan bentuk kesadaran seseorang yang tampak mati akibat berhentinya fungsi jantung dan paru yang berorientasi pada otak.
c.       Pertolongan diberikan karena keadaan yang mengancam kehidupan. 
d.      Terapi kegawatan intensive: tindakan terbaik untuk klien sakit kritis karena tidak segera di intervensi menimbulkan kerusakan organ yang akhirnya meninggal. 
e.       Mati klinis: henti nafas, sirkulasi terganggu, henti jantung, otak tidak berfungsi untuk sementara (reversibel). Resusitasi jantung paru (RJP) tidak dilakukan bila: kematian wajar, stadium terminal penyakit seperti kanker yang menyebar ke otak setelah 1/2-1 jam RJP gagal dipastikan fungsi otak berjalan. 
f.       Mati biologis: kematian tetap karena otak kerkurangan oksigen. mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan yang mulai dari neuron otak yang nekrosis setelah satu jam tanpa sirkulasi oleh jantung, paru, hati, dan lain – lain. 
g.      Mati klinis 4-6 menit, kemudian mati biologis. 
h.      Fatwa IDI mati: jika fungsi pernafasan seperti jantung berhenti secara pasti (irreversibel atau terbukti kematian batang otak).
 


G.    Ruang Lingkup Keperawatan Kritis dan Kegawatdaruratan 

1.      ICU (Intensive Care Unit)

ICU adalah ruangan perawatan intensif dengan peralatan-peralatan khusus untuk menanggulangi pasien gawat karena penyakit, trauma atau kompikasi lain. Misalnya terdapat sebuah kasus dalam sistem persyarafan dengan klien A cedera medula spinalis, cedera tulang belakang, klien mengeluh nyeri, serta terbatasnya pergerakan klien dan punggung habis jatuh dari tangga. Dengan klien B epilepsi mengalami fase kejang tonik dan klonik pada saat serangan epilepsi dirumahnya.

Dua kasus diatas memiliki sebuah perbedaan yang jelas dengan melihat kasus tersebut, yang meski dilakukan oleh seorang perawat adalah melihat kondisi si klien B maka lebih diutamakan dibandingkan dengan klien A karena pada klien B kondisi gawat daruratnya disebabkan oleh adanya penyakit epilepsi. Sedangkan untuk klien A dalam kondisi gawat darurat juga akan tetapi ia masuk kedalam unit atau bagian gawat darurat (UGD) bukan berarti tidak diperdulikan. 



2.      UGD (Unit Gawat Darurat)

UGD merupakan unit atau bagian yang memberikan pelayanan gawat darurat kepada masyarakat yang menderita penyakit akut atau mengalami kecelakaan. Seperti pada kasus diatas pada klien A, ia mengalami suatu kecelakaan yang mengakibatkan cedera tulang belakang dengan demikian yang meski dibawa ke UGD adalah yang klien A yang mengalami kecelakaan tersebut. 



H.     Proses Keperawatan Gawat Darurat 

1.       Waktu yang terbatas

2.       Kondisi klien yang memerlukan bantuan segera 

3.       Kebutuhan pelayanan yang definitif di unit lain (OK, ICU) 

4.       Informasi yang terbatas 

5.       Peran dan sumber daya 



I.    Sasaran Pelayanan Gawat Darurat 

Ketepatan resusitasi efektif dan stabilisasi klien gawat dan yang mengalami perlukaan.



J.    Aspek Psikologis Pada Situasi Gawat Darurat 

1.       Cemas

2.       Histeris 

3.       Mudah marah 



K.     Pengkajian terhadap prioritas pelayanan 

Perubahan tanda vital yang signifikan (hipo/hipertensi, hipo/hipertermia, disritmia, distres pernafasan).

1.       Perubahan/gangguan tingkat kesdaran (LOC)

2.       Nyeri dada terutama pada pasien berusia > 35 tahun 

3.       Nyeri yang hebat 

4.       Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan dengan penekanan langsung 

5.       Kondisi yang dapat memperburuk jika pengobatan ditangguhkan 

6.       Hilang penglihatans ecara tiba-tiba 

7.       Perilaku membahayakan, menyerang 

8.       Kondisi psikologis yang terganggu/perkosaan 



L.     Triage 

Tujuan triage adalah untuk menetapkan tingkat atau derajat kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :

·         Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien.

·         Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan lanjutan.

·         Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses penanggulangan/pengobatan gawat darurat.



  1. Sistem Triage dipengaruhi oleh: 

·         Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan

·         Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien 

·         Denah bangunan fisik unit gawat darurat 

·         Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis 



  1. Sistem Pelayanan Gawat Darurat 

Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan untuk mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan asukan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan keluarga.

Sistem pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis lainnya harus memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang tinggi dalam memberikan pertolongan kedaruratan kepeda pesien.



  1. Triage Dalam Keperawatan Gawat Darurat 

Yaitu skenario pertolongan yang akan di berikan sesudah fase keadaan pasien. Pasien-pasien yang terancam hidupnya harus di beri prioritas utama. Triage dalam keperawatan gawat derurat di gunakan untuk mengklasifikasian keperahan penyakit atau cidera dan menetapkan prioritas kebutuhan penggunaan petugas perawatan kesehatan yang efisien dan sumber-sumbernya.

Standart waktu yang di perlukan untuk melakukan triase adalah 2-5 menit untuk orang dewasa dan 7 menit untuk pasien anak-anak.

Triase di lakukan oleh perawat yang profesional (RN) yang sudah terlatih dalam prinsip triase, pengalaman bekerja minimal 6 bulan di bagian UGD, dan memiliki kualisifikasi: 

·         Menunjukkan kompetensi kegawat daruratan 

·         Sertifikasi ATLS, ACLS, PALS, ENPC

·         Lulus Trauma Nurse Core Currikulum (TNCC)

·         Pengetahuan tentang kebijakan intradepartemen

·         Keterampilan pengkajian yang tepat, dll



  1. Kategori/ Klasifikasi Trias

61% menggunakan 4 kategori pengambilan keputusan yaitu dengan menggunakan warna hartu/status sebagai tanda klasifikasi yaitu Merah (Emergen), kuning (Urgen), hijau (non Urgen), hitam (Expectant):

·         Merah (Emergent)

Yaitu korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera. Yaitu kondisi yang mengancam kehidupan dan memerlukan perhatian segera.

Contoh:

ü  Syok oleh berbagai kausa

ü  Gangguan pernapasan

ü  Trauma kepala dengan pupil anisokor

ü  Perdarahan eksternal masif

·         Kuning (Urgent)

Yaitu korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi perawatan dapat di tunda sementara. Kondisi yang merupakan masalah medisyang disignifikan dan memerlukan penata laksanaan sesegera mungkin. Tanda-tanda fital klien ini masih stabil.

Contoh:

ü  Fraktur multiple

ü  Fraktur femur/pelvis

ü  Korban dengan resiko syok (korban dengan gangguan jantung, trauma, obdomen berat)

ü  Luka bakar luas

ü  Gangguan kesadaran/trauma kepala

ü  Korban dengan status yang tidak jelas.

ü  Semua korban dengan kategori ini harus di berikan infus, pengawasan ketat terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi dan berikan perawatan sesegera mungkin.

·         Hijau (Non urgent)

Yaitu kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau pemberian pengobatan dapat di tunda. Penyakit atau cidera minor

Contoh

ü  Fektur minor

ü  Luka minor

ü  Luka bakar minor

·         Hitam (Expectant)

Korban yang meninggal bunia atau yang berpotensi untuk meninggal dunia

- 6% memakai sistem empat kelas yaitu:

a.       Kelas1: kritis (mengancam jiwa, ekstremitas, penglihatan atau tindakan segera)

b.      Kelas ii: Akut (terdapat perubahan yang signifikan, tindakan segera mungkin)

c.       Kelas iii: Urgent (signifikan, tikdakan pada waktu yang tepat)

d.      Kelas iv: Non Urgent (tidak terdapat resiko yang perlu segera di tangani)10% digunakan sistem 5 tingkat yaitu:

1.      Kritis Segera Henti jantung

2.      Tidak stabil 5-15 menit Fraktur mayor

3.      Potensial tidak stabil 30-60 menit Nyeri abdomen

4.      Stabil 1-2 jam Sinusitis

5.      Rutin 4 jam Pengangkatan jahitan



M.    Penatalaksanaan Kegawatdaruratan
Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan aplikasi terlatih dari prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus-kasus penyakit mendadak dengan menggunakan fasilitas-fasilitas atau benda-benda yang tersedia pada saat itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang telah diuji sampai korban dipindahkan ke Rumah Sakit atau lokasi dimana keterampilan dan peralatan yang layak tersedia (Skeet, 1995).
Penatalaksanaan awal diberikan untuk :
1. Mempertahankan hidup
2. Mencegah kondisi menjadi lebih buruk
3. Meningkatkan pemulihan
Seseorang yang memberikan penatalaksanaan awal harus :
1.      Mengkaji sesuatu
2.      Menentukan diagnosis untuk setiap korban
3.      Memberikan penanganan yang cepat dan adekuat, mengingat bahwa korban mungkin memiliki lebih dari satu cedera dan beberapa korban akan membutuhkan perhatian dari pada yang lain.
4.      Tidak menunda pengiriman korban ke Rumah Sakit sehubungan dengan kondisi serius.
Pada penderita trauma, waktu sangat penting, oleh karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial aassesment (penilaian awal) dan meliputi (ATLS, 2004) :
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resutisasi
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
9. Penanganan definitif

a.         Primary Survey
Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui ABCDE yaitu :
A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol)
B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)
D: Disability, status neurologis
E: Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah
Hipotermia.

a.      Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan – lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.
Menurut ATLS 2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Walls, 2010). Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif.
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (in-line immobilization) (ATLS, 2004)

Teknik-teknik mempertahankan airway :
                         i.          Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).
                    ii.            Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinaL

            iii.       Jaw thrust


         Jaw thrust Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012) 


                      iv.            Oropharingeal Airway (OPA)
Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis, 2007).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).
    v. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).
 


vi. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
  • Adanya apnea
  • Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – cara yang lain
  • Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
  • vomitus
  • Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
  • Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
  • Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang paling menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk melakukan airway surgical.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat.Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.

b.      Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2001). Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian (Hagberg, 2005). Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Buono, Davis, Barth, 2007).
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask (Arifin, 2012):
    • Posisikan kepala lurus dengan tubuh
    • Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran).
    • Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut).
    • Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
    • Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
    • Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
    • Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
    • Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
    • Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).
 
Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada toraks.
Penilaian awal tersebut dilakukan untuk menilai apakah terdapat keadaan-keadaan seperti tension pneumotoraks, massive haemotoraks, open pneumotoraks dimana keadaan-keadaan tersebut harus dapat dikenali pada saat dilakukan primary survey. Bila ditemukannya keadaan-keadaan tersebut maka resusitasi yang dilakukan adalah ( Sitohang, 2012):
§  Memberikan oksigen dengan kecepatan 10 – 12 L/menit
§  Tension pneumotoraks : Needle insertion (IV Cath No. 14) di ICR II linea midclavicularis.
§  Massive haemotoraks : Pemasangan Chest Tube

§  Open pneumotoraks : Luka diututp dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi (flutter-type valveefect). Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita. 
§  Pulse oxymeter adalah metoda yang noninvansif untuk mengukur saturasi oksigen darah aterial secara terus menerus (ATLS, 2004).  
c. Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt, 2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi (ATLS,2004).
§  Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
§  Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.
§  Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):
o   Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol.
o   Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol.
o   Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol.
o   Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg sistol.

d.      Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004). Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder (Jumaan, 2008).
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
§  Membuka mata spontan
§  Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
§  Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari tangan)
§  Tidak memberikan respon
2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
§  Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
§  Disorientasi atau bingung
§  Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
§  Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
§  Tidak memberikan respon
3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
§  Melakukan gerakan sesuai perintah
§  Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
§  Menghindar terhadap rangsangan nyeri
§  Fleksi abnormal (decorticated)
·         Ektensi abnormal (decerebrate)
·         Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran)
Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab (Pre-Hospital Trauma Life Support Commitee 2002) :
1. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak
2. Trauma pada sentral nervus sistem
3. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
4. Gangguan atau kelainan metabolik

e.       Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.




BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis atau rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat. 
Namun UGD dan klinik kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan meliputi pertolongan pertama, penanganan transportasi yang diberikan kepada orang yang mengalami kondisi darurat akibat rudapaksa, sebab medik atau perjalanan penyakit di mulai dari tempat ditemukannya korban tersebut sampai pengobatan definitif dilakukan di tempat rujukan.

3.2 SARAN
Sebagai seorang calon perawat yang nantinya akan bekerja di suatu institusi Rumah Sakit tentunya kita dapat mengetahui mengenai perspektif keperawatan kritis dan kegawatdaruratan, dan ruang lingkup kritis dan kegawadaruratan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, karena manusia tidak ada yang sempurna, agar penulis dapat belajar lagi dalam penulisan makalah yang lebih baik. Atas kritik dan saran dari pembaca, penulis ucakan terimakasih.

  
DAFTAR PUSTAKA

Hudak, Gallo.1996. Keperawatan Kritis.(4th ed).Jakarta: EGC.
Rubenfeld, Barbara K. 2006. Berfikir Kritis dalam Keperawatan.(2th ed). Jakarta: EGC.