BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Inkontinensia
urin tampaknya akan menjadi salah satu masalah kesehatan dan psikososial yang
sering dijumpai di masa mendatang seiring dengan makin banyaknya jumlah usia
lanjut di Indonesia.
Inkontinensia
urin seringkali menyebabkan pasien dan atau keluarganya frustasi, bahkan
depresi. Bau yang tidak sedap, perasaan kotor, tidak suci untuk beribadah tentu
menimbulkan masalah sosial dan psikologis. Selain itu, adanya inkontinensia
urin juga akan mengganggu aktivitas fisik, seksual, dan pekerjaan. Secara tidak
langsung masalah itu juga dapat menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien
akan mengurangi minumnya karena khawatir mengompol. Dekubitus, infeksi saluran
kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya adalah biaya perawatan yang
tinggi untuk pembelian pampers, kateter adalah masalah yang juga dapat timbul
akibat inkontinensia urin.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan
inkontinensia urin?
2. Apa saja klasifikasi dari
inkontinensia urin?
3. Apa saja penyebab dari inkontinensia
urin?
4. Apa saja manifestasi klinis
inkontinensia urin?
5. Bagaimana proses terjadinya
inkontinensia urin?
6. Apa saja penatalaksanaan untuk
inkontinensia urin?
7. Pemeriksaan penunjang apa saja yang
dilakukan pada inkontinensia urin?
8. Bagaimana WOC dari inkontinensia
urin?
9. Apa saja asuhan keperawatan pada
inkontinensia urin?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa itu
inkontinensia urin.
2. Untuk mengetahui klasifikasi
inkontinensia urin.
3. Untuk mengetahui etiologi
inkontinensia urin.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis
inkontinensia urin.
5. Untuk mengetahui patofisiologi
inkontinensia urin.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan
inkontinensia urin.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan
penunjang inkontinensia urin.
8. Untuk mengetahui WOC inkontinensia
urin.
9. Untuk mengetahui auhan keperawatan
inkontinensia urin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan.(Brunner & Suddart. 2002)
Inkontinensia urin merupakan urin yang keluar tidak terkendali dan tidak
diduga.(Mary Baradero,dkk. 2009)
Inkontinensia urin ialah kehilangan control berkemih yang dapat bersifat
sementara atau menetap. (Potter & Perry. 2006)
B. KLASIFIKASI
Menurut Brunner & Suddart:
1. Inkontinensia stress
Merupakan
eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan
mendadak pada tekanan intra-abdomen. Tipe inkontinensia ini paling sering
ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh cedera obstetric, lesi kolum
vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan
sejumlah keadaan lainnya. Disamping itu, gangguan ini dapat terjadi karena
kelainan congenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik).
2. Inkontinensia urgensi
Terjadi
bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu
menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus, kontraksi
kandung kemih yang tidak dihambat merupakan factor yang menyertai; keadaan ini
dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan
kontraksi kandung kemih atau pada pasien dengan gejala local iritasi akibat
infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih.
3. Inkontinensia overflow
Ditandai
oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus-menerus
dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal
dan mengalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urin terjadi dengan
sering,kandung kemih tidak pernah kosong. Inkontinensia overflow dapat disebabkan
oleh kelainan neurologi (yaitu, lesi medulla spinalis) atau oleh factor-faktor
yang menyumbat saluran keluar urin (yaitu,penggunaan obat-obatan, tumor,
struktur dan hyperplasia prostat).
4. Inkontinensia fungsional
Merupakan
inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada
factor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat sulit untuk
mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya demensia Alzheimer) atau gangguan
fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk
melakukan urinasi.
5. Inkontinensia reflex
Merupakan
kehilangan urin yang tidak disadari bila volume tertentu telah tercapai,
terjadi pada Interval yang dapat diperkirakan. Gangguan neurologic seperti pada
lesi sum-sum tulang belakang. (Barbara C. Long. 1996)
C. ETIOLOGI
1. Cerebral clouding
Merupakan
gangguan pengendalian serebral berupa status mental yang disifatkan dengan
bingung, penurunan persepsi, kurang perhatian dan mengakibatkan disorientasi
terhadap waktu, tempat, dan lain-lain.
2. Infeksi
3. Gangguan jalur dari saraf pusat (lesi
korteks)
4. Lesi neuron atas
5. Lesi motor neuron bawah
6. Kerusakan jaringan
D. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
Factor-faktor yang ada hubungan
|
|||||
Penyebab inkontinensia urin
|
Kesadaran kebutuhan untuk berkemih
|
Kemampuan korteks untuk menahan berkemih
|
Busur refleks
|
Respon kandung kemih terhadap pengisian
|
akibatnya
|
Cerebral clouding
|
terganggu
|
Terganggu
|
Bekerja
|
Normal
|
Berkemih tidak terkendali akibat respon reflek.
|
Infeksi
|
Bekerja
|
Bekerja tapi terkalahkan oleh respon reflek yang kuat
|
Mendapat stimulus tidak normal
|
Meningkat
|
Berkemih karena respon reflek yang kuat (terpaksa).
|
Gangguan jalur dari sel saraf pusat (lesi korteks)
|
Berkurang
|
Terganggu
|
Bekerja
|
Meningkat
|
Berkemih karena respon reflek.
|
Lesi neuron atas
|
Rusak
|
Rusak
|
Bekerja, tapi tidak tepat
|
Meningkat
|
Berkemih karenarespon reflek.
|
Lesi motor neuron bawah
|
Rusak
|
Rusak
|
Rusak atau terganggu
|
Rusak atau terganggu
|
Distensi atau pengosongan tidak sempurna.
|
Kerusakan jaringan
|
bekerja
|
Ada, tapi berfungsi karena respon otot jelek
|
bekerja
|
normal
|
Hilang kendali berkemih karena otot-otot terganggu.
|
D. MANIFESTASI KLINIS
1.
Inkontinensia
stress : Keluarnya urin selama batuk,
mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia
stress.
2.
Inkontinensia
urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya
terburu-buru untuk berkemih.
3.
Enuresis
nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun mengompol selama
tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu yang abnormal dan
menunjukan adanya kandung kemih yang tidak stabil.
4.
Gejala
infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi(pancara lemah,
menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal),
fistula (menetes terus menerus), penyakit neurologis (disfungsi seksual atau
usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes) dapat menunjukan
penyakit yang mendasari.
5. Ketidak nyamanan daerah pubis.
6. Distensi vesika urinaria.
7. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
8. Sering berkemih, saat vesika urinaria
berisi sedikit urine (20-50 ml).
9. Ketidak seimbangan jumlah urine yang
dikeluarkan dengan asupannya.
10. Meningkatkan keresahan dan
keinginanan berkemih.
11. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml
dalam kandung kemih.
12. Tidak merasakan urine keluar.
13. Kandung kemih terasa penuh walaupun
telah buang air kecil.
E. PATOFISIOLOGI
Pengendalian
kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi pengeluaran urin secara
kontinen. Pengendalian memerlukan kegiatan otot normal diluar kesadaran dan
yang di dalam kesadaran yang dikoordinasi oleh reflex urethrovesica urinaria.
Pengertian tentang keteraturan stimulus saraf dan kegiatan otot dapat membantu
perawat bagaimana kontinen dapat dapat dipertahankan.
Bila
terjadi pengisian kandung kecing, tekanan didalam kandung kemih meningkat. Otot
detrusor (lapisan yang tiga dari dinding kandung kencing) memberikan respon
dengan relaksasi agar memperbesar volume daya tampung. Bila titik daya tampung
telah dicapai, biasanya 150 sampai 200 ml urin daya rentang reseptor yang
terletak pada dinding kandung kemih mendapat rangsang. Stimulus
ditransmisi lewat serabut reflek eferan ke lengkungan pusat reflex untuk
mikstrurirasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari
lengkungan refleks ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor.
Sfinkter
interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama membuka dan
urin masuk ke urethra posterior. Relaksasi sfinkter eksterna dan otot perincal
mengikuti dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan refleks bisa
mengalami interupsi dan berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls
inhibitori dari pusat kortek yang berdampak kontraksi diluar kesadaran dari
sfinker eksterna. Bila salah satu bagian dari fungsi yang komlek ini rusak,
bisa terjadi inkontinensia urin.
Cerebral
clouding (fungsi otak menurun) pada orang lanjut usia adalah biasa. Pada banyak
kejadian orang lanjut usia inkontinen karena berkurangnya kesadaran kebutuhan
untuk mengosongkan kandung kemih. Bentuk inkontinen ini seringkali tidak ada
hubungan dengan kelainan patologi pada tingkat otak. Cerebral clouding terjadi
juga pada orang sakit akut yang menderita begitu sakit sehingga otak tumpul.
Mereka tidak dapat berfikir dan tidak mempunyai energy untuk mengendalikan di
luar kesadaran. Demikian juga seseorang dalam keadaan koma mengalami
inkontinen, karena hilangnya kemampuan diluar kesadaran pembukaan sfinter
eksterna. Bila air kencing sudah masuk ke urethra posterior, kandung kencing
berkontraksi dan air kemih keluar. Hal seperti ini menyebabkan kenapa seseorang
berkemih pada waktu anesthesia.
Infeksi
dimana saja pada saluran kemih dapat berdampak inkontinen, karena bakteri pada
saluran kemih menyebabkan iritasi pada lapisan mukosa kandung kemih dan
menstimulir rethrovesica urinaria.
inkontinen terjadi sebagai dampak dari ketidakmampuan untuk menahan
reflek urethro vesica urinaria dengan sempurna oleh pusat-pusat yang lebih
tinggi.
Gangguan reflek urethro vesicalis dapat terjadi karena lesi tulang
sum-sum belakang atau rusak saraf perifer dari kandung kemih. Bentuk kontinen
ini dapat terlihat pada orang dengan malforsi sum-sum belakang, cedera, tumor
dan pada mereka dengan komprs sum-sum
akibat patah vertebra, diskus yang hernia, tumor metastase di sum-sum
belakang pasca bedah. Bentuk kesulitan ini dapat berakibat kepada dua jenis
respon yang dikenal sebagai neurogenik vesicalis. Orang yang menderita
neurogenic vesikalis tidak mempunyai cara untuk mengetahui kapan berkemih itu
terjadi.
Cedera diatas tingkat S2 dari sum-sum belakang atau gangguan pusat cerebrocortical
tidak merusak reflek berkemih, walupun bisa menghilangkan keteraturan. Lesi
bisa merusak potensi kortek untuk menahan reflek. Dampaknya adalah “motor
neuron atas” atau kandung kencing yang automatis. Kandung kemih menjadi
hipertosis dan hanya mempunyai sedikit kapasitas (kurang dari 150 ml).
Peningkatan tonus detrusor dan peningkatan sensitifitas terhadap jumlah urin
yang sedikit di dalam kandung kemih berdampak mendahului reflek berkemih dan
berpotensi terjadi refluks vesicourethral.
Kerusakan saraf cauda equina atau segmen sakrum bisa berdampak pada
lengkungan refleks oleh interupsi aferennya, eferannya oleh komponen sentral.
Berakibat terjadi “motor neuron bawah” atau kandung kemih lemah. Kandung kemih
menjadi hipotonis dengan kapasitas 500 ml atau lebih. Inkontinen luapan,
retensi residu urin, dan potensi vesicourethra refluks merupakan masalah yang
didorong oleh kandung kemih yang hipotosis.
Inkontinen karena luapan dianggap disebabkan oleh tekanan dari kandung
kemih yang distensi oleh otot-otot abdomen. Residu urin adalah, urin yang masih
berada di dalam kandung kemih setelah pengosongan yang tidak sempurna,
merupakan media untuk berkembangnya bakteri dan infeksi saluran kemih menjadi
lumrah.
Kerusakan jaringan dari sfingter kandung kemih oleh instrumen, bedah atau
kecelakaan, parut yang ditinggalkan infeksi, lesi yang mengenai sfingter atau
relaksasi struktur perineum dapat berakibat intontinen urin. Sebab inkontinen
yang akhir kadang-kadang sering timbul setelah melahirkan anak. Masalah sifatnya
lokal dan tidak menyangkut saraf.
F. PENATALAKSANAAN
1. Kateterisasi
Ada tiga macam kateterisasi pada inkontinensia urine :
a. Kateterisasi luar
Terutama pada pria yang memakai system kateter kondom. Efek samping yang
utama adalah iritasipad kulit dan sering lepas.
b. Katerisasi intermiten
Katerisasi secara intermiten dapat dicoba, terutam pada wanita lanjut
usia yang menderita inkontinensia urine. Frekuensi pemasangan 2-4x sehari
dengan sangat memperhatikan sterilisasi dan tehnik prosedurnya.
c. Kateterisasi secar menetap
Pemasangan kateter secara menetap harus benar-benar dibatasi pada
indikasi yang tepat. Misalnya untuk ulkus dekubitus yang terganggu
penyembuhannya karena ada inkontinensia urine ini. Komplikasi dari kateterisasi
secara terus-menerus ini disamping infeksi. Juga menyebabkan batu kandung
kemih, abses ginjal dan bahkan proses keganasan dari saluran kemih.
2. Medikasi
a. Estrogen, untuk mengurangi atropik
vanigitis uretra dan memulihkan uretra yang supel
b. Antikolinergik, untuk mengurangi
spastisitas kandung kemih, relaksasi otot.
c. Kolinergik, untuk memperbaiki kandung
kemih yang flaksid dengan menstimulasi kontraksi kandung kemih.
d. Penyekat alfa-adrenergik, untuk
mengurangi spastisitas leher kandung kemih
e. Simpatomimetik, untuk meningkatkan
tonus leher kandung kemih dan uretra
f.
Penyekat
saluran kalsium, untuk mengurangi kontraksi otot detrusor.
3. Diet
Modifikasi
diet terdiri dari penjadwalan asupan cairan. Asupan cairan setelah makan malam
perlu dikurangi.makanan yang dapat menstimulasi kandung kemih perlu dihindari,
misalnya kopi, the, alcohol, dan cokelat.
Pengelolaan inkontinensia urine pada penderita usia lanjut,
secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut :
a. Program rehabilitasi
1) Melatih respon kandung kemihagar baik
lagi
2) Melatih perilaku berkemih
3) Latihan otot-otot dasar panggul
4) Modifikasi tempat untuk berkemih
5) Kateterisasi baik secara berkala atau
menetap
6) Obat-obatan, antara lain untuk
relaksasi kandung kemih, esterogen
7) Pembedahan, misalnya untuk mengangkat
penyebab sumbatan atau keadaan patologi lain.
Menurut Kane dkk, untuk masing-masing
tipe dari inkontinensia ada beberapa hal khusus yang dianjurkan, misalnya :
1. Inkontinensia tipe stress
a. Latihan otot-otot dasar panggul
b. Latihan penyesuaian berkemih
c. Obat-obatan untuk merelaksasi kandung
kemih dan estrogen
d. Tindakan pembedahan memperkuat muara
kandung kemih
2. Inkontinensia tipe urgensi
a. Latihan mengenal berkemih dan
menyesuaikan
b. Obat-obatan untuk merelaksasikan
kandung kemih dan estrogen
c. Tindakan pembedahan untuk mengambil
sumbatan dan lain-lain keadaan patologik yang menyebabkan iritasi saluran kemih
bagian bawah.
3. Inkontinensia tipe fungsional
a. Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan
kebiasaan berkemih
b. Pakaian dalam dan kain penyerap
khusus lainnya.
c. Penyesuaian atau modifikasi lingkungan
tempat berkemih.
d. Kalau perlu digunakan obat-obatan
yang merelaksasikan kandung kemih
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes
diagnostik pada inkontinensia urin (Menurut Ouslander)
Tes
diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien
dan menentukan tipe inkontinensia.
1. Mengukur sisa urine setelah berkemih
Dilakukan dengan cara : Setelah buang
air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti
pengosongan kandung kemih tidak adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap
spesimen urine yang bersih untuk mendeteksi adanya factor yang berperan
terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri,
glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila
evaluasi awal didiagnosis belum jelas.
2. Tes lanjutan tersebut adalah :
a) Tes laboratorium tambahan seperti
kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi. Tes
urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian
bawah
b) Tes tekanan urethra adalah mengukur
tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dinamis
3. Imaging adalah tes terhadap saluran
perkemihan bagian atas dan bawah.
Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine. Merembesnya urin pada saatdilakukan penekanan dapat juga dilakukan.
Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine. Merembesnya urin pada saatdilakukan penekanan dapat juga dilakukan.
Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan
ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta
untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.
Merembesnya urin sering kali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh
antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya
kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
4. Laboratorium Elektrolit, ureum,
creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan
kondisi yang menyebabkan poliuri.
5. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk
mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah
urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala
berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut
dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau
respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat
menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada
dirinya.
6. Urinalisis
Digunakan
untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
7. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola
berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur
laju aliran ketika pasien berkemih.
8. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi
neuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor,
tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan
panas.
9. Urografi ekskretori bawah kandung kemih
dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih :
a. Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena,
digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung
kemih.
b. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya
pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih
setelah pasien berkemih.
10. Sistometrogram dan elektromiogram.
Dilakukan
untuk mengevaluasi otot detrusor, spingter dan otot perineum.
11. USG kandung kemih, sistoskopi dan
IVP.
Dilakukan
untuk mengkaji struktur dan fungsi saluran kemih.
H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa, tanggal, jam
MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah
frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia
(stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik,
kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah
terjadi ketidakmampuan.
2)
Riwayat
kesehatan dahulu.
Apakah klien pernah mengalami penyakit
serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah
terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih
dan apakah dirawat dirumah sakit.
3)
Riwayat
kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga
lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat
penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
c.
Pemeriksaan
fisik
1) Keadaan umum
Klien
tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinensia.
2) Pemeriksaan Sistem
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
b) B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi:
Periksa warna, bau, banyaknya urine
biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam
kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder,
pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri
saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.
Palpasi :
Palpasi :
Rasa nyeri di dapat pada daerah supra
pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat
juga di luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau
penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya
ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan
membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
2. Analisa data
Data
|
Masalah
|
etiologi
|
DS:
Biasanya pasien mengatakan sering berkemih.
DO:
Inkontinensia urin
Retensi urin
|
Gangguan eliminasi urine
|
Gangguan sensori motor
|
DS:
Biasanya klien mengungkapkan perasaan yang mencerminkan
perubahan pandangan tentang tubuh individu.
DO:
Respon nonverbal terhadap perubahan actual pada tubuh.
Perubahan actual pada fungsi danstruktur tubuk
|
Gangguan citra tubuh
|
Kehilangan fungsi tubuh, perubahan
keterlibatan sosial
|
DS:
Biasanya klien mengatakan gelisah.
Klien mengeluhkan kekhawatiran karena perubahan dalam
peristiwa hidup.
Klien mengatakan susah tidur.
DO:
Klien tampak cemas.
Klien tampak gelisah.
Klien insomnia.
|
ansietas
|
Perubahan dalam status kesehatan
|
3. Diagnosa keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan
sensori motor.
b. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan
fungsi tubuh, perubahan keterlibatan sosial.
c. Ansietas b/d perubahan dalam status
kesehatan.
4. NCP
Diagnose keperawatan
|
Criteria hasil berdasarkan NOC
|
Intervensi keperawatan berdasarkan NIC
|
Aktivitas NIC
|
I
|
Urinary contiunence
Criteria Hasil:
1. Kandung kemih kosong secara penuh.
2. Tidak ada residu urine >100-200
cc.
3. Intake cairan dalam rentang normal.
4. Balance cairan seimbang.
|
Urinary retention care
|
1. Lakukan penilaian kemih yang
komprehensif berfokus pada inkontinensia(misalnya, output urin, pola
berkemih, fungsikognitif)
2. Pantau penggunaan obat dengan sifat
antikolinergik
3. Memantau intake dan output
4. Memantau tingkat distensi kandung
kemih dengan palpasi atau perkusi
5. Bantu dengan toilet secara berkala
6. Kateterisasi
|
II
|
Body image
Criteria Hasil:
1. Body image positif
2. Mampu mengidentifikasi kekuatan
personal
3. Mendeskripsikan secara factual
perubahan fungsi tubuh
4. Mempertahankan interaksi sosial
|
Body image enhancement
|
1. kaji secara verbal dan non verbal
respon klien terhadap tubuhnya
2. jelaskan tentang pengobatan dan
perawatan penyakit
3. identifikasi arti pengurangan
melalui pemakaian alat bantu.
4. Fasilitasi kontak dengan individu
lain dalam kelompok lain
|
III
|
Anxiety self control
Criteria hasil:
1. klien mampu mengidentifikasi dan
mengungkapkan gejala cemas.
2. Mengidentifikasi, mengungkapakan
dan menunjukkan teknik untuk mengontrol cemas.
3. Postur tubuh, ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan tingkat aktifitas menunjukkan berkurangnya kecemasan.
|
Anxiety reduction (penurunan kecemasan)
|
1. Gunakan pendekatan yang menenangkan.
2. Jelaskan semua prosedur dan apa
yang dirasakan selama prosedur.
3. Pahami prespektif klien terhadap
situasi stress.
4. Temani pasien untuk memberikan
keamanan dan mengurangi takut.
5. Dorong keluarga untuk menemani
pasien.
|
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inkontinensia
urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi diluar keinginan.(Brunner & Suddart. 2002).
Terdapat
lima pengklasifikasian inkontinensia urin, yaitu:
1. Inkontinensia stress
2. Inkontinensia urgensi
3. Inkontinensia overflow
4. Inkontinensia fungsional
5. Inkontinensia reflex
Inkontinensia urin dapat disebabkan oleh cerebral clouding,
infeksi, gangguan jalur dari saraf pusat (lesi korteks), lesi neuron atas, lesi
motor neuron bawah, dan kerusakan jaringan.
Inkontinensia urin dapat ditangani dengan beberapa
cara,diantaranya adalah:
1. Kateterisasi
2. Medikasi
3. Pengaturan diet
4. Latihan otot panggul.
B. SARAN
Sebagai seorang
perawat, sudah menjadi kewajiban untuk memberikan tindakan perawatan dalam
asuhan keperawatan yang diarahkan kepada pembentukan tingkat kenyamanan pasien,
manajemen rasa sakit dan keamanan. Perawat harus mampu mamahami faktor
psikologis dan emosional yang berhubungan dengan diagnosa penyakit, dan perawat
juga harus terus mendukung pasien dan keluarga dalam menjalani proses
penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
Potter
& Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Barbara
C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan IAPK Padjajaran
Bandung.
Baradero, Marry, dkk. 2009. Seri Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.
Smeltzer,
Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol.2.
Edisi 8. Jakarta: EGC.
Nurarif,
Amin Huda,dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
No comments:
Post a Comment