Friday 4 September 2015

KONSEP WALI DAN SAKSI DALAM MUNAKAHAT



BAB I
PENDAHULUAN

1.1         LATAR BELAKANG
Ta’arif Perkawinan yaitu ‘aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seseorang laki-laki dan seorang perempuan yang diantara keduanya bukan mukhrim. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan yang lainnya. Serta perkenalan itu agar menjadi jalan buat menyampaikan suatu pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami dan istri, keturunan bahkan antara dua keluarga. Dari sebab baik pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih-mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala kejahatan. Selain dari pada itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara daripada kebinasaan hawa nafsunya. 

 1.2          RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah yang dimaksud dengan Wali dalam Munakahat ?
2.      Bagaimanakah Dasar Hukum dari Wali dalam Munakahat ?
3.      Apa saja Syarat-syarat dari Wali dalam Munakahat ?
4.      Apa saja Macam-macam dari Wali dalam Munakahat ?
5.      Bagaimana Sususunan/ urutan Wali dalam Munakahat ?
6.      Bagaimana Kedudukan Wali dalam Munakahat ?
7.      Apakah yang dimaksud dengan Saksi dalam Munakahat ?
8.      Bagaimanakah Dasar Hukum dari Saksi dalam Munakahat ?
9.      Apa saja Syarat-syarat dari Saksi dalam Munakahat ?
10.  Bagaimana Pengaruh, Fungsi dan Tanggung Jawab Saksi dalam Munakahat?

3.1         TUJUAN MASALAH
1.      Menjelaskan Pengetian dari Wali dalam Munakahat.
2.      Menjelaskan Dasar Hukum dari Wali dan Saksi dalam Munakahat.
3.      Menjelaskan Syarat-syarat dari Wali dan Saksi dalam Munakahat.
4.      Menjelaskan Macam-macam dari Wali dan Saksi dalam Munakahat.
5.      Menjelaskan Sususunan/ urutan Wali dalam Munakahat.
6.      Menjelaskan Kedudukan Wali dalam Munakahat.
7.      Menjelaskan Definisi Saksi dalam Munakahat.
8.      Menjelaskan Dasar Hukum dari Saksi dalam Munakahat
9.      Menjelaskan Pengaruh, Fungsi dan Tanggung Jawab Saksi dalam Munakahat.

BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP WALI DAN SAKSI DALAM MUNAKAHAT

2.1  Definisi Wali dalam Munakahat
Dalam kaitannya dengan wali, terdapat pengertian yang bersifat umum dan ada yang harus bersifat khusus. Adapun pengertian wali menurut  bahasa (lughat) yaitu kata wali berasal dari bahasa Arab  و ّﻲ yang jamaknya  ءﺎﻴﻟوا  yang berarti kasih, pemerintah. Sedang kata  و ّ   mempunyai arti,  pemerintah atau wali. Pengertian wali menurut istilah, wali dapat berarti penjaga,  pelindung, penyumbang, teman, pengurus, dan juga digunakan dengan arti  keluarga dekat.
Seperti yang telah disinggung di atas wali ada yang bersifat  umum dan khusus. Kewalian  umum  adalah mengenai orang banyak dalam  satu wilayah atau negara, sedang kewalian khusus ialah mengenai pribadi  seseorang atau hartanya. Dan dalam pembahasan yang dimaksud dengan wali  ialah yang menyangkut pribadi dalam masalah perkawinan. Dalam Ensiklopedi Islam di Indonesia dibahas tentang wali, yaitu wali hakim. Yang  dimaksud dengan wali hakim ialah wali dalam suatu perkawinan bagi wanita  yang tidak ada walinya, maka hakim setempat menjadi walinya.
Secara etimlogis, alwilayah (wali) ialah berasal dari ungkapan wala' asy-syaya' wa ala' alayh iwilayatan/walayatan yang berarti "Mengusainya". ada juga yang mengatakan wala' fulanan wilayatanwa walayatan "membantu dan menolongnya". Sedangkan alwalayatan di tafsirkan dengan pertolongan, sedangkan al wilayat di tafsirkan kekuasaan dan kekuatan. Dari makna demikian di sebutkanlah bahwa wali bagi seorang wanita ialah yang mempunyai hak/ kekuasaan untuk melakukan akad pernikahannya dan ia tidak membiarkannya di ganggu oleh orang lain.

Definisi Wali menurut ahli figih, pertama Imam Maliki yaitu Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam maliki tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda. Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secara tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar.

Kedua menurut Imam Hanafi yaitu Abu Hanifah membolehkan perkawinan tanpa wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain diluar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda. Hanya saja kalau tidak sekufu, wali berhak membatalkannya. Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut abu hanifah diantaranya Al-Baqarah: 230, 232, 240. serta mengartikan “al-aima” adalah”wanita yang tidak mempunyai suami” baik gadis maupun janda. Ditambah dengan hadits tentang kasus al-khansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi. Menurut abu hanifah persetujuan dari para calon adalah satu keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda. Perbedaannya, persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan tegas.

Ketiga menurut Imam Syafi’ikehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah. Bersamaan dengan ini, Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah Al-Baqarah: 232, An-Nisa: 25, 34. serta beberapa hadits nabi. Menurut Syafi’i bapak lebih berhak menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a.
Keempat Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus. Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan.
Sedangkan dalam pengertian terminologis perwalian (wilayah) ialah kekuasaan secara syariat yang di miliki orang yang berhak untuk melakukan tasrharuf (aktifitas) dalam kaitan dengan keadaan/urusan orang lain utnuk membantunya dan ada pemahaman lain tentang wali perwakilan dengan definisi suatu wewenang syar'ie atas segolongan manusia, yang di limpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang di kuasai tersebut, demi kemaslahatan sendiri. semua pengertian ini mengacu kepada kodrat kemanuisaan di mana perempuan sangat membutuhkan kehadiran wali.
      Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi Wali dalam Munakahat adalah wali ialah  orang yang berhak dan berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum bagi  orang yang berada di bawah perwaliannya menurut ketentuan syari’at.

2.2  Dasar Hukum Wali dalam Munakahat
Sayid Sabiq dalam karangannya Fiqh Sunnah, disebutkan, wali nikah adalah suatu yang harus ada menurut syara’ yang  bertugas melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa.
Abdurrahman al-Jaziri mendefinisikan wali nikah, sebagai berikut:
ﻭﺍ ﺏﻻﺍ ﻮﻫﻭ ﻪﻧﻭﺪﺑ ﺢﺼﻳ ﻼﻓ ﺪﻘﻌﻟﺍ ﺔﺤﺻ ﻪﻴﻠﻋ ﻒﻗﻮﺘﻳ ﻯﺬﻟﺍ ﻮﻫ ﺡﺎﻜﻨﻟﺍ ﻮﻟﺍ
ﻚﻟﺎﺍﻭ ﻥﺎﻄﻠﺴﻟﺍﻭ ﻖﺘﻌﺍ ﺐﺻﺎﻌﻟﺍ ﺐﻳﺮﻘﻟﺍﻭ ﺔﻴﺻﻭ
Artinya: ”Wali di dalam nikah adalah orang yang mempunyai puncak  kebijaksanaan atas keputusan yang baginya menentukan sahnya  akad (pernikahan), maka tidaklah sah suatu akad tanpa dengannya,  ia adalah ayah atau kuasanya dan kerabat yang melindungi, mu’tik,  sulthan dan penguasa yang berwenang.”
Dengan melihat beberapa ketentuan tentang pengertian wali di atas  dapat kita ketahui bahwa wali yang dimaksud di sini adalah orang yang  mengasuh orang yang berada di bawah perwaliannya dan dalam hal ini  cenderung pada wali dalam suatu pernikahan. Wali adalah orang/pihak yang  memberikan izin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan.  Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak perempuan. Hal ini disebabkan karena tidak sah perempuan melakukan pernikahan (akad nikah) baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, dengan dasar beberapa nash Al-Qur’an, sebagai berikut yang artinya:
 ”Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan  kewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para suami  mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya, dan Allah  Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 228)
Serta firman Allah SWT yang artinya:
”Maka nikahlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan  orang-orang yang layak (untuk menikah) dari hamba-hamba  sahayamu yang laki-laki dan perempuan” (QS. An-Nur: 32)
Dalam hal ini al-Maraghi menjelaskan dalam firman Allah: “ﻢﻬﻨﻴﺑ  menunjukkan bahwasanya tidak ada halangan bagi seseorang laki-laki untuk  melamar perempuan atau janda tersebut langsung kepada dirinya untuk  melakukan pernikahan. Pada saat itu diharamkan pada walinya menahan dan menghalang-halangi melakukan pernikahan dengan orang yang melamarnya.
Dalam “ Nail al-Authar”, karangan Asy-Syaukani, disebutkan hadits  yang berkenaan dengan wali nikah, yaitu:
Artinya:  “Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri, dari Urwah dari Aisyah;  sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: “Barang  siapa di antara perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka  nikahnya batal. Karena apabila terjadi persetubuhan maka baginya (perempuan yang dinikahi) berhak atas mahar dengan  sebab dihalalkannya farjinya. Demikian pula apabila terjadi pertentangan (tenang walinya) maka sulthan adalah wali bagi seorang yang tidak mempunyai wali.”

2.3  Macam-macam Wali dalam Munakahat
Menurut Sayyid Sabiq, dalam Fiqh Sunnah-nya disebutkan bahwa  wali nikah itu ada dua macam, yaitu: wali secara umum dan wali secara  khusus. Yang dinamakan wilayah khusus yaitu mengenai perwalian jiwa atau nyawa dan harta. Dan yang dimaksud dalam bahasan ini ialah perwalian mengenai jiwa atau nyawa dalam perkawinan. Suyuti Thalib dalam Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi  Umat Islam, menyatakan bahwa wali itu bermacam-macam. Ada wali  terhadap harta anak yatim, ada wali untuk orang-orang yang tidak kuat dalam  mengendalikan hartanya dan ada pula wali bagi perempuan dalam  perkawinan.
Lebih lanjut, Suyuti menyebutkan bahwa wali nikah menurut ajaran  hukum patrilinial terdiri atas bermacam-macam, yaitu:
1.      Wali nasab
artinya bangsa. Menurut ajaran patrilinial, nasab yang diartikan keluarga dalam hubungan  garis keturunan patrilinial atau hubungan darah patrilinial. Wali nasab  artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin perempuan yang  mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon pengantin itu. Wali nasab berhak memaksa menentukan dengan siapa seorang perempuan  mesti kawin, yang kemudian wali nasab ini disebut wali mujbir.
2.      Wali hakim
Wali hakim ialah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam  bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Depag.  Dalam hal ditemui kesulitan untuk haditsnya wali nasab atau ada  halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seorang calon pengantin perempuan dapat menggunakan bantuan wali hakim baik melalui Pengadilan Agama atau tidak tergantung pada prosedur yang dapat ditempuh.
3.      Hakam
Dapat juga bertindak menjadi wali, seorang yang masih masuk keluarga si perempuan walaupun bukan merupakan wali nasab, bukan mempunyai  hubungan darah patrilinial dengan perempuan tersebut tetapi dia mempunyai pengertian keagamaan yang dapat bertindak sebagai wali perkawinan. Dalam ajaran bilateral, wali itu dapat saja dari keluarga bapak si calon pengantin dan dapat pula dari keluarga ibunya. Bahkan dalam  pemikiran yang lebih jauh lagi dari lingkungan penganut ajaran bilateral  dalam hukum kekeluargaan Islam, bahkan wanita pun dapat menjadi wali nikah.
4.      Muhakam
Muhakam ialah seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan tadi dan  bukan pula dari pihak penguasa, tetapi mempunyai pengetahuan  keagamaan yang baik dan dapat menjadi wali dalam perkawinan. Dalam  hal ini sama sekali tidak dapat dicari wali dari pihak pemerintah, untuk lancar sempurnanya perkawinan, seyogyanya dipilih seseorang lain untuk menjadi wali dalam arti wali muhakam ini bagi golongan yang mensyaratkan adanya wali nikah.
Berbeda dengan Sudarsono, ia menyatakan bahwa dalam pernikahan  terdapat tiga macam wali, yaitu: wali mujbir, wali nasab dan wali hakim.
a.       Adapun wali mujbir (wali dengan hak memaksa) yaitu wali nikah  yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seorang laki-laki dalam batas yang wajar.
Wali mujbir ialah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk wali mujbir ialah mereka yang masuk dalam garis keturunan garis  patrilinial sampai seterusnya ke atas.
Wali mujbir dapat mengawinkan anak  gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya.
b.      Kemudian wali nasab, yaitu wali nikah yang mempunyai hubungan keluarga dengan calon pengantin perempuan. Wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, paman beserta keturunannya menurut garis patrilinial (laki-laki).  Dan, wali hakim yaitu wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua  belah pihak (calon suami istri).
c.       Wali hakim itu harus mempunyai pengetahuan  sama dengan qadhi. Pengertian wali hakim ini termasuk qadhidi pengadilan.  Jika semua wali hakim tidak ada, maka bagi kedua calon mempelai  diharuskan mengangkat muhakam yaitu orang yang diangkat hakim darurat  untuk mengawinkan mereka. Adapun pelaksanaan wali nikah oleh sulthan di negara RI diatur dengan Peraturan Menteri Agama RI No. 1 tahun 1952, tentang wali hakim.
Jika kita teliti dengan seksama sebenarnya pernyataan Suyuti Thalib  dan Sudarsono, pada hakekatnya adalah sama, hanya berbeda dalam  menentukan jumlah dari macam wali tersebut. Abdurrahman al-Jaziri, menyatakan bahwa jika dilihat dari seginya, jumhur ulama berpendapat bahwa wali nikah menurut macamnya dibagi menjadi dua, yaitu wali mujbir dan wali ghairu mujbir
a.       Wali nasab yang terdiri dari empat kelompok dalam urusan kedudukan,  kelompok satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
b.      Wali hakim yang mana baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila  wali nasab tidak ada atau mungkin menghadirkan atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan.
2.4  Syarat- syarat Wali dalam Munakahat
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk  sahnya menjadi wali. Dalam menentukan syarat-syarat itu terdapat  persamaan dan perbedaan dalam masing-masing madzhab. Menurut  Sayyid Sabiq, syarat-syarat bagi seorang wali nikah yaitu:
a.       Orang merdeka atau tidak budak belian.
Telah sampai umur atau sudah baligh, baik yang diwalinya orang islam atau non-islam. Oleh sebab itu, maka budak belian tidak boleh menjadi  wali nikah dalam perkawinan. Begitu pula tidak boleh jadi wali nikah  orang gila atau anak-anak, karena mereka belum dapat mewalii salah seorang pun, malahan terhadap dirinya. Oleh karena itu, maka dia tidak berhak mewali diri orang lain.
b.      Berakal,
c.       Beragama Islam, yang demikian ialah bila yang diwaliinya beragama  Islam pula. Sebabnya ialah karena Non-Islam tidak patut mewalii  orang Islam.
Sulaiman Rasyid dalam Fiqh Islam menyatakan bahwa tidak  semua orang dapat diterima menjadi wali, tetapi hendaklah orang-orang  yang memiliki beberapa syarat atau sifat berikut:
a.       Islam, orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali
b.      Baligh (sudah berumur adiknya 15 tahun)
c.       Berakal
d.      Merdeka
e.       Laki-laki
f.       Adil

2.5  Susunan/ Urutan Wali Nikah
Dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah susunan yang dibawah ini, karena wali-wali itu memang telah diketahui oleh orang yang ada pada masa turun ayat: “Janganlah kamu keberatan menikahkan mereka”.(Al-Baqarah, 232). Begiru juga hadits Ummi Salamah, yang telah berkata kepada Rasulullah: ”Wali saya tidak ada seorangpun yang dekat”.
Semua itu menjadi tanda, bahwa wali-wali itu telah diketahui (dikenal):
1.      Ayah/ Bapak.
2.      Kakek dan seterusnya keatas dari garis laki-laki.
3.      Saudara laki-laki kandung sekandung.
4.      Saudara laki-laki yang seayah saja.
5.      Kemenakan laki-laki kandung.
6.      Kemenakan laki-laki seayah.
7.      Paman kandung dari pihak ayah.
8.      Saudara sepupu laki-laki kandung dari ayah.
9.      Sultan/ hakim.
           
2.6  Kedudukan Wali Nikah dalam Hukum Islam
Apabila kita melihat undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU tersebut, di dalam keduaperaturan ini, masalah wali nikah didefinisikan secara eksplisit sebagai syarat dan rukun nikah. Yang disinggung adalah batas minimal usia nikah yaitu 19 tahun bagi lelaki dan 16 tahun bagi  perempuan, dan harus ada izin dari orang tua bagi yang belum mencapai usia 21 tahun (pasal 6 ayat 2-6 UU nomor 1 tahun 1974). Perwalian dalam UU ini bukan terkait dengan pernikahan melainkan lebih cenderung pada hubungan  orang tua atau wali dengan anak ampunya dan masalah harta benda.
Dalam KHI disebutkan bahwa wali nikah secara tegas dimasukkan  sebagai salah satu rukun nikah. Sebagaimana pasal 14 menyebutkan sebagai  berikut:
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
1. Calon suami
2. Calon isteri
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab qabul
Dan selanjutnya pada pasal 19 menyebutkan, wali nikah dalam  perkawinan merupakan rukun yang merupakan keharusan yang harus dipenuhi  bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Pada madzhab Syafi’i kedudukan wali dalam perkawinan dinyatakan bahwa wali merupakan salah satu syarat yang sah untuk sahnya nikah. Suatu pernikahan tanpa adanya wali adalah  tidak sah.

2.7  Definisi Saksi dalam Munakahat
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.
Malikiyah mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan. Pandangan Malikiyah berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Malikiyah mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan i’lan dengan saksi, dimana i’lan difahami sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinya. Malikiyah justru mengutamakan i’lan nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadis tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”
Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam akad  nikah mutlak diperlukan, bila saksi tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap tidak sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1) menyatakan dengan sangat tegas: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan definisi dari saksi adalah orang yang hadir secara langsung menyaksikan pelaksanaan pernikahan (Ijab Qabul), agar pleksanaannya sesuai dangan syri’at agama.

2.8  Dasar Hukum Saksi dalam Munakahat
Rasulullah sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-beda menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits:
لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍِّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ
 “Tidak sah suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’. (H.R. Daruqutni).
Bahkan dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur (al-baghaya) adalah perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi (bayyinah).
Menurut Imam Malik dan para sahabatnya bahwa saksi dalam akad nikah itu tidak wajib dan cukup diumumkan saja. Mereka beralasan bahwa jual beli yang di dalamnya disebut soal mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli sebagaimana tersebut didalam Al-Qur’an bukan merupakan bagian dari syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Allah tidak menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang adanya syarat mempersaksikan dalam suatu pernikahan. Karena itu, tentu lebih baik jika masalah mempersaksikan tidak termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan saja guna memperjelas keturunan. Mempersaksikan ini boleh dilakukan setelah ijab-kabul untuk menghindari perselisihan antara kedua mempelai. Jika waktu ijab-kabul tidak dihadiri para saksi, tetapi kalau sudah bercampur belum dipersaksikan maka nikahnya batal. Perhatikan sabda Rasulullah SAW:
عن ابن عبا س ان رسول الله عليه صلى الله عليه وسلم قال: البخا يا اللا تى ينكحن انفسهن بخير بينة ( رواه الترمذى )
Artinya:
Dari ibnu Abbas r.a. katanya, “Rasulullah SAW.bersabda, “ pelacur yaitu perempuan-perempuan yang mengawinkan dirinya tanpa saksi.” (H.R. Tirmidzi)
Sabda Rasulullah SAW:
لا نكا ح الا بو لي و شا هد ى عدل(رواه احمد)
Artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi adil.” (HR. Ahmad ).
Sebuah pernikahan tidak syah bila tidak disaksikan oleh saksi yang memenuhi syarat. Maka sebuah pernikahan sirri yang tidak disaksikan jelas diharamkan dalam islam. Dalilnya secara syarih disebutkan oleh khalifah umar.
Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab ra.ditanya tentang menikah yang tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang wanita. Maka beliau berkata: “Ini adalah nikah sirr, aku tidak membolehkannya. Bila kamu menggaulinya pasti aku rajam.” (HR. Malik Al-Muwqaththo).
Rasulullah SAW bersabda:
ايما امراة نكحت بخير اذن وليها وشاهدي عدل فنكا حها باطلˏفان دخل بها فلها المهرˏ وان اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
Artinya: “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya dan dua orang saksi yang ‘adil, maka pernikahan baathil. Apabila seorang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar mahar untuknya. Dan bila mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.”

2.9  Syarat- syarat Saksi dalam Munakahat
Akad pernikahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. Islam
Dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
  1. Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi harus mukallaf.

  1.  Berakal
     Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
  1.  Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin laki-laki.
  1.  Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
  1.  Bilangan Jumlah Saksi
Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat diterima.
Syafii: tidak diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.
  1. Adil
Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama. Selain hanafiyah.
  1. Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd qabul itu dan dapat membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.
Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri berkata:
“Telah menjadi sunnah Rasulullah SAW bahwa tidak diperkenankan persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan talaq. Aqad nikah bukanlahsatu perjanjian kebendaan, bukan pula dimaksudkan untuk kebendaan, dan biasanya yang menghindari adalah kaum laki-laki. karena itu tidak sah aqad nikah dengan saksi dua orang perempuan, seperti halnya dalam urusan pidana tidak dapat diterima kesaksiannya dua orang perempuan. Namun madzhab Hanafiyah mengatakan bahwa bila jumlah wanita itu dua orang, maka bisa menggantikan posisi laki-laki seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
...... jika tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya..... (Q.S. al-baqarah: 282).

2.10          Pengaruh, Fungsi dan Tanggung Jawab Saksi dalam Munakahat
Kehadiran saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak, sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya) dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Perbuatan halal biasanya dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena tidak ada keraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya, sebuah pernikahan yang dilandasi oleh cinta-kasih dan disetujui oleh kedua belah pihak, tidak perlu disembunyikan. Bila tidak ada saksi pada saat akad nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam keadaaan terpaksa atau ada sebab-sebab lainyang dipandang negatif oleh masyarakat. Oleh karena itu, disunatkan mengadakan resepsi perkawinan (walimatul ‘ursy).

BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa adanya wali dan saksi dalam pernikahan itu sangatlah wajib, karena wali dan saksi termasuk dalam rukun nikah.
Jumhur ulama sepakat bahwa saksi sangat penting adanya dalam pernikahan. Apabila tidak dihadiri oleh para saksi, maka hukum pernikahan menjadi tidak sah walaupun diumumkan oleh khalayak ramai dengan cara lain. Karena saksi merupakan syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam Syafii mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu termasuk rukun pernikahan. Jika para saksi yang hadir diamanatkan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakan dan tidak memberitahukannya kepada khalayak ramai, maka nikahnya tetap sah.

3.2  SARAN
Dengan penjelasan makalah munakahat mengenai wali dan saksi tersebut, semoga pembaca  dapat memperluas pengetahuan serta dapat memahami apa saja yang berkaitan dengan wali dan saksi munakahat dalam kehidupan sehari- hari, serta bagi mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuannya mengenai wali dan saksi munakahat itu sendiri, dan diharapkan pembaca dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari tidak hanya semata- mata untuk dibaca saja.
      Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, karena manusia tidak ada yang sempurna, agar penulis dapat belajar lagi dalam penulisan makalah yang lebih baik. Atas kritik dan saran dari pembaca, penulis ucakan terimakasih.

No comments:

Post a Comment