BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Ta’arif
Perkawinan yaitu ‘aqad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta bertolong-tolongan antara seseorang laki-laki dan seorang
perempuan yang diantara keduanya bukan mukhrim. Nikah adalah salah satu asas
pokok hidup yang terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, bukan
saja perkawinan itu satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah
tangga dan keturunan, tetapi perkawinan itu dapat dipandang sebagai satu jalan
menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan yang lainnya. Serta perkenalan
itu agar menjadi jalan buat menyampaikan suatu pertolongan antara satu dengan
yang lainnya.
Sebenarnya
pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami dan istri, keturunan bahkan antara
dua keluarga. Dari sebab baik pergaulan antara si istri dengan suaminya,
kasih-mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari
kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan
bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan menjaga segala
kejahatan. Selain dari pada itu, dengan perkawinan seseorang akan terpelihara
daripada kebinasaan hawa nafsunya.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah yang dimaksud dengan Wali dalam
Munakahat ?
2.
Bagaimanakah Dasar Hukum dari Wali dalam
Munakahat ?
3.
Apa saja Syarat-syarat dari Wali dalam
Munakahat ?
4.
Apa saja Macam-macam dari Wali dalam
Munakahat ?
5.
Bagaimana Sususunan/ urutan Wali dalam
Munakahat ?
6.
Bagaimana Kedudukan Wali dalam Munakahat
?
7.
Apakah yang dimaksud dengan Saksi dalam
Munakahat ?
8.
Bagaimanakah Dasar Hukum dari Saksi
dalam Munakahat ?
9.
Apa saja Syarat-syarat dari Saksi dalam
Munakahat ?
10. Bagaimana Pengaruh, Fungsi dan Tanggung Jawab Saksi
dalam Munakahat?
3.1
TUJUAN MASALAH
1.
Menjelaskan Pengetian dari Wali dalam
Munakahat.
2.
Menjelaskan Dasar Hukum dari Wali dan
Saksi dalam Munakahat.
3.
Menjelaskan Syarat-syarat dari Wali dan
Saksi dalam Munakahat.
4.
Menjelaskan Macam-macam dari Wali dan
Saksi dalam Munakahat.
5.
Menjelaskan Sususunan/ urutan Wali dalam
Munakahat.
6.
Menjelaskan Kedudukan Wali dalam
Munakahat.
7.
Menjelaskan Definisi Saksi dalam
Munakahat.
8.
Menjelaskan Dasar Hukum dari Saksi dalam
Munakahat
9.
Menjelaskan Pengaruh, Fungsi dan Tanggung Jawab Saksi dalam Munakahat.
BAB
II
PEMBAHASAN
KONSEP WALI DAN SAKSI DALAM MUNAKAHAT
2.1 Definisi Wali dalam Munakahat
Dalam
kaitannya dengan wali, terdapat pengertian yang bersifat umum dan ada yang
harus bersifat khusus. Adapun pengertian wali menurut bahasa (lughat) yaitu kata wali berasal dari
bahasa Arab ﻟو ّﻲ yang jamaknya ءﺎﻴﻟوا
yang berarti kasih, pemerintah. Sedang kata و ﻟ ّﻲ mempunyai arti, pemerintah atau wali. Pengertian wali menurut
istilah, wali dapat berarti penjaga, pelindung,
penyumbang, teman, pengurus, dan juga digunakan dengan arti keluarga dekat.
Seperti
yang telah disinggung di atas wali ada yang bersifat umum dan khusus. Kewalian umum adalah
mengenai orang banyak dalam satu wilayah
atau negara, sedang kewalian khusus ialah mengenai pribadi seseorang atau hartanya. Dan dalam pembahasan
yang dimaksud dengan wali ialah yang
menyangkut pribadi dalam masalah perkawinan. Dalam Ensiklopedi Islam di
Indonesia dibahas tentang wali, yaitu wali hakim. Yang dimaksud dengan wali hakim ialah wali dalam suatu
perkawinan bagi wanita yang tidak ada
walinya, maka hakim setempat menjadi walinya.
Secara
etimlogis, alwilayah (wali) ialah berasal dari ungkapan wala' asy-syaya' wa
ala' alayh iwilayatan/walayatan yang berarti "Mengusainya".
ada juga yang mengatakan wala' fulanan wilayatanwa walayatan "membantu
dan menolongnya". Sedangkan alwalayatan di tafsirkan dengan
pertolongan, sedangkan al wilayat di tafsirkan kekuasaan dan kekuatan. Dari makna demikian di sebutkanlah bahwa wali bagi
seorang wanita ialah yang mempunyai hak/ kekuasaan untuk melakukan akad
pernikahannya dan ia tidak membiarkannya di ganggu oleh orang lain.
Definisi Wali menurut ahli figih, pertama Imam Maliki yaitu Imam Maliki mengharuskan izin dari wali atau wakil terpandang dari keluarga atau hakim untuk akad nikah. Akan tetapi tidak dijelaskan secara tegas apakah wali harus hadir dalam akad nikah atau cukup sekedar izinnya. Meskipun demikian imam maliki tidak membolehkan wanita menikahkan diri-sendiri, baik gadis maupun janda. Mengenai persetujuan dari wanita yang akan menikah, imam malik membedakan antara gadis dengan janda. Untuk janda, harus terlebih dahulu ada persetujuan secara tegas sebelum akad nikah. Sedangkan bagi gadis atau janda yang belum dewasa dan belum dicampuri suami, maka jika bapak sebagai wali ia memiliki hak ijbar. Sedangkan wali diluar bapak, ia tidak memilki hak ijbar.
Kedua menurut Imam Hanafi yaitu Abu Hanifah membolehkan perkawinan tanpa wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain diluar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda. Hanya saja kalau tidak sekufu, wali berhak membatalkannya. Dasar yang membolehkan perkawinan tanpa wali, menurut abu hanifah diantaranya Al-Baqarah: 230, 232, 240. serta mengartikan “al-aima” adalah”wanita yang tidak mempunyai suami” baik gadis maupun janda. Ditambah dengan hadits tentang kasus al-khansa’a yang dinikahkan secara paksa oleh bapaknya dan ternyata tidak diakui oleh Nabi. Menurut abu hanifah persetujuan dari para calon adalah satu keharusan dalam perkawinan, baik bagi seorang gadis maupun janda. Perbedaannya, persetujuan gadis cukup dengan diamnya, sementara janda harus dinyatakan dengan tegas.
Ketiga menurut Imam Syafi’ikehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah,
yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak
sah. Bersamaan dengan ini, Syafi’i juga berpendapat wali dilarang mempersulit
perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang wanita mendapat
pasangan yang sekufu. Dasar yang digunakan imam Syafi’i adalah Al-Baqarah: 232,
An-Nisa: 25, 34. serta beberapa hadits nabi. Menurut Syafi’i bapak lebih berhak
menentukan perkawinan anak gadisnya. Hal ini didasarkan pada mafhum mukhalafah
dari hadits yang menyatakan “janda lebih berhak kepada dirinya”. Sehingga
menurut Syafi’i izin gadis bukanlah satu keharusan tetapi hanya sekedar
pilihan. Adapun perkawinan seorang janda harus ada izin secara tegas dari yang
bersangkutan. Hal ini didasarkan pada kasus al-khansa’a.
Keempat Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam
perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah.
Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti
berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah
hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil
khusus. Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis
yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat
sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam
perkawinan.
Sedangkan
dalam pengertian terminologis perwalian (wilayah) ialah kekuasaan secara
syariat yang di miliki orang yang berhak untuk melakukan tasrharuf
(aktifitas) dalam kaitan dengan keadaan/urusan orang lain utnuk membantunya dan ada pemahaman lain tentang wali perwakilan dengan
definisi suatu wewenang syar'ie atas segolongan manusia, yang di limpahkan
kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang di
kuasai tersebut, demi kemaslahatan sendiri. semua pengertian ini mengacu
kepada kodrat kemanuisaan di mana perempuan sangat membutuhkan kehadiran wali.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
definisi Wali dalam Munakahat adalah wali ialah orang yang berhak dan
berkuasa untuk melakukan perbuatan hukum bagi
orang yang berada di bawah perwaliannya menurut ketentuan syari’at.
2.2 Dasar Hukum Wali dalam Munakahat
Sayid
Sabiq dalam karangannya Fiqh Sunnah, disebutkan, wali nikah adalah suatu yang
harus ada menurut syara’ yang bertugas
melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa.
Abdurrahman
al-Jaziri mendefinisikan wali nikah, sebagai berikut:
ﻭﺍ
ﺏﻻﺍ ﻮﻫﻭ ﻪﻧﻭﺪﺑ ﺢﺼﻳ ﻼﻓ ﺪﻘﻌﻟﺍ ﺔﺤﺻ ﻪﻴﻠﻋ ﻒﻗﻮﺘﻳ ﻯﺬﻟﺍ ﻮﻫ ﺡﺎﻜﻨﻟﺍ ﰱ
ﱄﻮﻟﺍ
ﻚﻟﺎﳌﺍﻭ
ﻥﺎﻄﻠﺴﻟﺍﻭ ﻖﺘﻌﳌﺍ ﺐﺻﺎﻌﻟﺍ ﺐﻳﺮﻘﻟﺍﻭ ﺔﻴﺻﻭ
Artinya:
”Wali di dalam nikah adalah orang yang mempunyai puncak kebijaksanaan atas keputusan yang baginya
menentukan sahnya akad (pernikahan),
maka tidaklah sah suatu akad tanpa dengannya, ia adalah ayah atau kuasanya dan kerabat yang
melindungi, mu’tik, sulthan dan penguasa
yang berwenang.”
Dengan
melihat beberapa ketentuan tentang pengertian wali di atas dapat kita ketahui bahwa wali yang dimaksud di
sini adalah orang yang mengasuh orang
yang berada di bawah perwaliannya dan dalam hal ini cenderung pada wali dalam suatu pernikahan.
Wali adalah orang/pihak yang memberikan
izin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan. Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak
perempuan. Hal ini disebabkan karena tidak sah perempuan melakukan pernikahan
(akad nikah) baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, dengan dasar
beberapa nash Al-Qur’an, sebagai berikut yang artinya:
”Dan para perempuan mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang makruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada
istrinya, dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 228)
Serta
firman Allah SWT yang artinya:
”Maka
nikahlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (untuk menikah) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan” (QS. An-Nur: 32)
Dalam hal ini al-Maraghi
menjelaskan dalam firman Allah: “ﻢﻬﻨﻴﺑ” menunjukkan bahwasanya tidak ada halangan bagi
seseorang laki-laki untuk melamar
perempuan atau janda tersebut langsung kepada dirinya untuk melakukan pernikahan. Pada saat itu diharamkan
pada walinya menahan dan menghalang-halangi melakukan pernikahan dengan orang
yang melamarnya.
Dalam “ Nail al-Authar”, karangan
Asy-Syaukani, disebutkan hadits yang
berkenaan dengan wali nikah, yaitu:
Artinya: “Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri, dari
Urwah dari Aisyah; sesungguhnya Nabi
Muhammad SAW telah bersabda: “Barang siapa
di antara perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal. Karena apabila terjadi
persetubuhan maka baginya (perempuan yang dinikahi) berhak atas mahar dengan sebab dihalalkannya farjinya. Demikian pula
apabila terjadi pertentangan (tenang walinya) maka sulthan adalah wali bagi
seorang yang tidak mempunyai wali.”
2.3 Macam-macam Wali dalam Munakahat
Menurut Sayyid Sabiq, dalam Fiqh
Sunnah-nya disebutkan bahwa wali nikah itu ada dua macam, yaitu: wali
secara umum dan wali secara khusus. Yang dinamakan wilayah khusus
yaitu mengenai perwalian jiwa atau nyawa dan harta. Dan yang dimaksud dalam
bahasan ini ialah perwalian mengenai jiwa atau nyawa dalam perkawinan. Suyuti
Thalib dalam Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, menyatakan bahwa
wali itu bermacam-macam. Ada wali terhadap harta anak yatim, ada wali untuk
orang-orang yang tidak kuat dalam mengendalikan hartanya dan ada pula wali
bagi perempuan dalam perkawinan.
Lebih lanjut, Suyuti menyebutkan
bahwa wali nikah menurut ajaran hukum
patrilinial terdiri atas bermacam-macam, yaitu:
1.
Wali nasab
artinya
bangsa. Menurut ajaran patrilinial, nasab yang diartikan keluarga dalam
hubungan garis keturunan patrilinial
atau hubungan darah patrilinial. Wali nasab
artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin perempuan
yang mempunyai hubungan darah
patrilinial dengan calon pengantin itu. Wali nasab berhak memaksa menentukan
dengan siapa seorang perempuan mesti
kawin, yang kemudian wali nasab ini disebut wali mujbir.
2.
Wali hakim
Wali
hakim ialah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau
petugas lain dari Depag. Dalam hal
ditemui kesulitan untuk haditsnya wali nasab atau ada halangan-halangan dari wali nasab atas suatu
perkawinan, maka seorang calon pengantin perempuan dapat menggunakan bantuan
wali hakim baik melalui Pengadilan Agama atau tidak tergantung pada prosedur
yang dapat ditempuh.
3.
Hakam
Dapat
juga bertindak menjadi wali, seorang yang masih masuk keluarga si perempuan
walaupun bukan merupakan wali nasab, bukan mempunyai hubungan darah patrilinial dengan perempuan
tersebut tetapi dia mempunyai pengertian keagamaan yang dapat bertindak sebagai
wali perkawinan. Dalam ajaran bilateral, wali itu dapat saja dari keluarga
bapak si calon pengantin dan dapat pula dari keluarga ibunya. Bahkan dalam pemikiran yang lebih jauh lagi dari lingkungan
penganut ajaran bilateral dalam hukum
kekeluargaan Islam, bahkan wanita pun dapat menjadi wali nikah.
4.
Muhakam
Muhakam
ialah seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan tadi dan bukan pula dari pihak penguasa, tetapi
mempunyai pengetahuan keagamaan yang
baik dan dapat menjadi wali dalam perkawinan. Dalam hal ini sama sekali tidak dapat dicari wali
dari pihak pemerintah, untuk lancar sempurnanya perkawinan, seyogyanya dipilih
seseorang lain untuk menjadi wali dalam arti wali muhakam ini bagi golongan
yang mensyaratkan adanya wali nikah.
Berbeda
dengan Sudarsono, ia menyatakan bahwa dalam pernikahan terdapat tiga macam wali, yaitu: wali mujbir,
wali nasab dan wali hakim.
a.
Adapun wali mujbir (wali dengan hak
memaksa) yaitu wali nikah yang mempunyai
hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seorang laki-laki dalam batas yang
wajar.
Wali
mujbir ialah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan
yang akan menikah. Mereka yang termasuk wali mujbir ialah mereka yang masuk
dalam garis keturunan garis patrilinial
sampai seterusnya ke atas.
Wali
mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya
tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya.
b.
Kemudian wali nasab, yaitu wali nikah
yang mempunyai hubungan keluarga dengan calon pengantin perempuan. Wali nasab
ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, paman beserta keturunannya menurut
garis patrilinial (laki-laki). Dan, wali
hakim yaitu wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak (calon suami istri).
c.
Wali hakim itu harus mempunyai
pengetahuan sama dengan qadhi.
Pengertian wali hakim ini termasuk qadhidi pengadilan. Jika semua wali hakim tidak ada, maka bagi
kedua calon mempelai diharuskan
mengangkat muhakam yaitu orang yang diangkat hakim darurat untuk mengawinkan mereka. Adapun pelaksanaan
wali nikah oleh sulthan di negara RI diatur dengan Peraturan Menteri Agama RI
No. 1 tahun 1952, tentang wali hakim.
Jika
kita teliti dengan seksama sebenarnya pernyataan Suyuti Thalib dan Sudarsono, pada hakekatnya adalah sama,
hanya berbeda dalam menentukan jumlah
dari macam wali tersebut. Abdurrahman al-Jaziri, menyatakan bahwa jika dilihat dari
seginya, jumhur ulama berpendapat bahwa wali nikah menurut macamnya dibagi
menjadi dua, yaitu wali mujbir dan wali ghairu mujbir
a.
Wali nasab yang terdiri dari empat
kelompok dalam urusan kedudukan, kelompok
satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
b.
Wali hakim yang mana baru dapat
bertindak sebagai wali nikah apabila
wali nasab tidak ada atau mungkin menghadirkan atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan.
2.4 Syarat- syarat Wali dalam Munakahat
Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh seseorang untuk sahnya
menjadi wali. Dalam menentukan syarat-syarat itu terdapat persamaan dan perbedaan dalam masing-masing
madzhab. Menurut Sayyid Sabiq,
syarat-syarat bagi seorang wali nikah yaitu:
a. Orang
merdeka atau tidak budak belian.
Telah sampai umur atau sudah baligh, baik yang
diwalinya orang islam atau non-islam. Oleh sebab itu, maka budak belian tidak
boleh menjadi wali nikah dalam
perkawinan. Begitu pula tidak boleh jadi wali nikah orang gila atau anak-anak, karena mereka belum
dapat mewalii salah seorang pun, malahan terhadap dirinya. Oleh karena itu,
maka dia tidak berhak mewali diri orang lain.
b. Berakal,
c. Beragama
Islam, yang demikian ialah bila yang diwaliinya beragama Islam pula. Sebabnya ialah karena Non-Islam
tidak patut mewalii orang Islam.
Sulaiman Rasyid dalam Fiqh Islam menyatakan
bahwa tidak semua orang dapat diterima
menjadi wali, tetapi hendaklah orang-orang yang memiliki beberapa syarat atau sifat
berikut:
a.
Islam, orang yang tidak beragama Islam
tidak sah menjadi wali
b.
Baligh (sudah berumur adiknya 15 tahun)
c.
Berakal
d.
Merdeka
e.
Laki-laki
f.
Adil
2.5 Susunan/ Urutan Wali Nikah
Dianggap sah
untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah susunan yang dibawah ini, karena
wali-wali itu memang telah diketahui oleh orang yang ada pada masa turun ayat:
“Janganlah kamu keberatan menikahkan mereka”.(Al-Baqarah, 232). Begiru juga
hadits Ummi Salamah, yang telah berkata kepada Rasulullah: ”Wali saya tidak ada
seorangpun yang dekat”.
Semua itu
menjadi tanda, bahwa wali-wali itu telah diketahui (dikenal):
1.
Ayah/ Bapak.
2.
Kakek dan
seterusnya keatas dari garis laki-laki.
3.
Saudara
laki-laki kandung sekandung.
4.
Saudara
laki-laki yang seayah saja.
5.
Kemenakan
laki-laki kandung.
6.
Kemenakan
laki-laki seayah.
7.
Paman kandung
dari pihak ayah.
8.
Saudara sepupu
laki-laki kandung dari ayah.
9.
Sultan/ hakim.
2.6 Kedudukan Wali Nikah dalam Hukum
Islam
Apabila kita melihat undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintah nomor 9 tahun
1975 tentang pelaksanaan UU tersebut, di dalam keduaperaturan ini, masalah wali
nikah didefinisikan secara eksplisit sebagai syarat dan rukun nikah. Yang
disinggung adalah batas minimal usia nikah yaitu 19 tahun bagi lelaki dan 16 tahun
bagi perempuan, dan harus ada izin dari orang
tua bagi yang belum mencapai usia 21 tahun (pasal 6 ayat 2-6 UU nomor 1 tahun
1974). Perwalian dalam UU ini bukan terkait dengan pernikahan melainkan lebih
cenderung pada hubungan orang tua atau wali dengan anak ampunya
dan masalah harta benda.
Dalam KHI disebutkan bahwa wali
nikah secara tegas dimasukkan sebagai salah satu rukun nikah.
Sebagaimana pasal 14 menyebutkan sebagai berikut:
Untuk melaksanakan perkawinan harus
ada:
1. Calon suami
2. Calon isteri
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab qabul
Dan selanjutnya pada pasal 19
menyebutkan, wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang merupakan keharusan yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkannya. Pada madzhab Syafi’i kedudukan wali dalam perkawinan dinyatakan
bahwa wali merupakan salah satu syarat yang sah untuk sahnya nikah. Suatu
pernikahan tanpa adanya wali adalah tidak sah.
2.7 Definisi Saksi dalam Munakahat
Saksi menurut
bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa
(kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan
keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.
Malikiyah
mempunyai pendapat berbeda tentang saksi dalam pernikahan. Pandangan Malikiyah
berangkat dari illat ditetapkannya saksi sebagai syarat sah nikah. Malikiyah
mengambil pemikiran bahwa untuk sampainya informasi dan bukti pernikahan tidak
harus melembagakan saksi, namun bisa ditempuh melalui i’lan. Malikiyah membedakan i’lan
dengan saksi, dimana i’lan difahami
sebagai media penyambung informasi dari suatu pernikahan tanpa harus melalui
hadirnya sosok saksi dalam proses akad nikah.
Menurut
Malikiyah saksi tidak dibutuhkan kehadirannya pada saat aqad, namun saksi akan
diharuskan kehadirannya setelah aqad sebelum suami mencampuri isterinya.
Malikiyah justru mengutamakan i’lan
nikah dari pada kesaksian itu sendiri, karena dalam i’lan sudah mencakum kesaksian. Meski demikian mereka tetap
menghadirkan dua orang saksi sebagai wujud pengamalan mereka terhadap hadis
tersebut. Hal ini didasarkan pada pandangan Malikiyah, yang benar-benar
mengedepankan praktek ahli Madinah yang pada waktu itu mengamalkan hadis-hadis
yang berkaitan dengan i’lan.
Dalam peraturan
perundangan yaitu pada KUHP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi
yaitu: “Saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia
dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengertahuannya itu”
Saksi dalam
pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah, sehingga setiap pernikahan
harus dihadiri dua orang saksi (ps. 24 KHI). Karena itu kehadiran saksi dalam
akad nikah mutlak diperlukan, bila saksi
tidak hadir/tidak ada maka akibat hukumnya adalah pernikahan tersebut dianggap
tidak sah. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 26 (1) menyatakan dengan
sangat tegas: “Perkawinan yang
dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali
nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang
saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan
lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.
Dari pengertian diatas
dapat disimpulkan definisi dari saksi adalah orang yang hadir
secara langsung menyaksikan pelaksanaan pernikahan (Ijab Qabul), agar
pleksanaannya sesuai dangan syri’at agama.
2.8 Dasar Hukum Saksi dalam Munakahat
Rasulullah
sendiri dalam berbagai riwayat hadits walaupn dengan redaksi berbeda-beda
menyatakan urgensi adanya saksi nikah, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah
hadits:
لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍِّ وَ
شَاهِدَيْ عَدْلٍ
“Tidak sah
suatu akad nikah kecuali (dihadiri) wali dan dua orang saksi yang adil’. (H.R. Daruqutni).
Bahkan dalam
sebuah hadits lain yang diriwayatkan Turmudzi dinyatakan bahwa pelacur-pelacur
(al-baghaya) adalah
perempuan-perempuan yang menikahkan dirinya sendiri tanpa dihadiri dengan saksi
(bayyinah).
Menurut Imam Malik dan para sahabatnya bahwa saksi dalam akad nikah itu
tidak wajib dan cukup diumumkan saja. Mereka beralasan bahwa jual beli
yang di dalamnya disebut soal mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli
sebagaimana tersebut didalam Al-Qur’an bukan merupakan bagian dari
syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Allah tidak menyebutkan di dalam Al-Qur’an
tentang adanya syarat mempersaksikan dalam suatu pernikahan. Karena itu, tentu
lebih baik jika masalah mempersaksikan tidak termasuk salah satu syaratnya,
tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan saja guna memperjelas keturunan.
Mempersaksikan ini boleh dilakukan setelah ijab-kabul untuk menghindari
perselisihan antara kedua mempelai. Jika waktu ijab-kabul tidak dihadiri para
saksi, tetapi kalau sudah bercampur belum dipersaksikan maka nikahnya batal.
Perhatikan sabda Rasulullah SAW:
عن ابن عبا س
ان رسول الله عليه صلى الله عليه وسلم قال: البخا يا اللا تى ينكحن انفسهن بخير
بينة ( رواه الترمذى )
Artinya:
Dari ibnu Abbas r.a. katanya, “Rasulullah SAW.bersabda, “ pelacur yaitu
perempuan-perempuan yang mengawinkan dirinya tanpa saksi.” (H.R.
Tirmidzi)
Sabda Rasulullah SAW:
لا نكا ح الا
بو لي و شا هد ى عدل(رواه احمد)
Artinya: “Tidak sah nikah kecuali
dengan wali dan dua orang saksi adil.” (HR. Ahmad ).
Sebuah pernikahan tidak syah bila
tidak disaksikan oleh saksi yang memenuhi syarat. Maka sebuah pernikahan sirri
yang tidak disaksikan jelas diharamkan dalam islam. Dalilnya secara syarih
disebutkan oleh khalifah umar.
Dari Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar
bin Al-Khattab ra.ditanya tentang menikah yang tidak disaksikan kecuali oleh
seorang laki-laki dan seorang wanita. Maka beliau berkata: “Ini adalah nikah
sirr, aku tidak membolehkannya. Bila kamu menggaulinya pasti aku rajam.” (HR.
Malik Al-Muwqaththo).
Rasulullah SAW bersabda:
ايما امراة نكحت بخير اذن وليها
وشاهدي عدل فنكا حها باطلˏفان دخل بها فلها المهرˏ وان اشتجروا فالسلطان ولي من لا
ولي له
Artinya: “Wanita mana saja yang
menikah tanpa izin dari walinya dan dua orang saksi yang ‘adil, maka pernikahan
baathil. Apabila seorang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar
mahar untuknya. Dan bila mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi
mereka yang tidak mempunyai wali.”
2.9 Syarat- syarat Saksi dalam
Munakahat
Akad pernikahan
harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk
menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Orang yang menjadi saksi dalam
pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Islam
Dua orang saksi itu harus muslim,
menurut kesepakatan para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh
menjadi saksi seperti kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
- Baligh
Anak-anak tidak dapat menjadi
saksi, walaupun sudah mumaiyyis (menjelang baligh), karena kesaksiannya
menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut
diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu
kedua saksi harus mukallaf.
- Berakal
Orang gila tidak dapat dijadikan saksi.
- Mendengar Dan Memahami Ucapan Ijab Qabul
Saksi harus mendengar dan
memahami ucapan ijab qabul, antara wali dan calon pengantin laki-laki.
- Laki-Laki
Laki-laki merupakan persyaratan
saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
- Bilangan Jumlah Saksi
Hanafi dan Hambali dalam riwayat
yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat diterima.
Maliki dan Hambali dalam riwayat
lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita dapat diterima.
Syafii: tidak
diterima kesaksian perempuan, kecuali empat orang.
- Adil
Saksi harus orang yang adil
walaupun kita hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para
jumhur ulama. Selain hanafiyah.
- Melihat
Syafiiyah berpendapat saksi harus
orang yang dapat melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian
orang yang buta asal dia dapat mendengar dengan baik iajd qabul itu dan dapat
membedakan suaa wali dan calon pengantin laki-laki.
Abu Ubaid meriwayatkan dari Az-Zuhri
berkata:
“Telah menjadi sunnah Rasulullah SAW
bahwa tidak diperkenankan persaksian wanita dalam masalah hudud, nikah dan
talaq. Aqad nikah bukanlahsatu
perjanjian kebendaan, bukan pula dimaksudkan untuk kebendaan, dan biasanya yang
menghindari adalah kaum laki-laki. karena itu tidak sah aqad nikah dengan saksi
dua orang perempuan, seperti halnya dalam urusan pidana tidak dapat diterima
kesaksiannya dua orang perempuan. Namun madzhab Hanafiyah
mengatakan bahwa bila jumlah wanita itu dua orang, maka bisa menggantikan
posisi laki-laki seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
...... jika
tak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya..... (Q.S. al-baqarah: 282).
2.10
Pengaruh,
Fungsi dan Tanggung Jawab Saksi dalam Munakahat
Kehadiran saksi
pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan
kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak,
sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari
istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya)
dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan
jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai
penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama. Jadi, saksi
menjadi syarat sah akad nikah.
Saksi adalah
sebagai penentu dan pemisah antara halal dan haram. Perbuatan halal biasanya
dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, karena tidak ada
keraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya,
sebuah pernikahan yang dilandasi oleh cinta-kasih dan disetujui oleh kedua
belah pihak, tidak perlu disembunyikan. Bila tidak ada saksi pada saat akad
nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam keadaaan terpaksa atau ada
sebab-sebab lainyang dipandang negatif oleh masyarakat. Oleh karena itu,
disunatkan mengadakan resepsi perkawinan (walimatul
‘ursy).
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa
adanya wali dan saksi dalam pernikahan itu sangatlah wajib, karena wali dan
saksi termasuk dalam rukun nikah.
Jumhur ulama sepakat bahwa saksi
sangat penting adanya dalam pernikahan. Apabila tidak dihadiri oleh para saksi,
maka hukum pernikahan menjadi tidak sah walaupun diumumkan oleh khalayak ramai
dengan cara lain. Karena saksi merupakan syarat sahnya pernikahan, bahkan Imam
Syafii mengatakan bahwa saksi dalam akad nikah itu termasuk rukun pernikahan.
Jika para saksi yang hadir diamanatkan oleh pihak yang mengadakan akad nikah
agar merahasiakan dan tidak memberitahukannya kepada khalayak ramai, maka
nikahnya tetap sah.
3.2 SARAN
Dengan
penjelasan makalah munakahat mengenai wali dan saksi tersebut, semoga
pembaca dapat memperluas pengetahuan
serta dapat memahami apa saja yang berkaitan dengan wali dan saksi munakahat dalam
kehidupan sehari- hari, serta bagi mahasiswa dapat menambah ilmu pengetahuannya
mengenai wali dan saksi munakahat itu sendiri, dan diharapkan pembaca dapat
mengamalkan dalam kehidupan sehari tidak hanya semata- mata untuk dibaca saja.
Penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca, karena manusia tidak ada yang sempurna, agar penulis dapat belajar
lagi dalam penulisan makalah yang lebih baik. Atas kritik dan saran dari
pembaca, penulis ucakan terimakasih.
No comments:
Post a Comment